ManGala Sutta (Berkah Utama)

Wednesday, February 11, 2009

Janganlah Percaya dengan Ketakhayulan

Janganlah Percaya dengan Ketakhayulan

Assaddho akataññū ca, sandhiccedho ca yo naro
Hatāvakāso vantāso, sa ve uttamaporiso

Orang yang telah terbebas dari ketahayulan, yang telah mengerti keadaan tak tercipta (Nibbāna), yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan; maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.

(Dhammapada 97)


Pada zaman dahulu hingga sekarang orangtua kita cenderung mempercayai adanya ketakhayulan. Menurut cerita-cerita kuno, bagi siapa saja yang tidak mempercayai adanya tanda-tanda buruk, maka ia akan celaka. Orangtua kita dahulu mengatakan bahwa tanda-tanda buruk ini harus dipercayai, karena ini sudah turun-temurun dan tidak boleh dilanggar.

Berikut ini adalah contoh tanda-tanda buruk yang dipercayai oleh sebagian masyarakat hingga sekarang. Misalnya, ketika berada di rumah, tiba-tiba pada siang hari kita dikejutkan oleh suara burung gagak, burung ini terus berkicau di luar rumah, maka ini merupakan pertanda buruk bahwa di sekitar rumah kita nantinya bakal ada yang meninggal dunia. Contoh lain, apabila kita ingin pergi ke rumah duka, kadang-kadang kita dilarang dengan alasan apabila kita pergi maka akan mengalami kesialan. Untuk menangkal hal ini, biasanya orangtua mengajarkan anak-anaknya membawa jahe, cabe merah, paku yang kemudian diikat dan dimasukkan ke dalam kantong kain. Setelah pulang dari rumah duka kantong tersebut dibuang di jalanan. Semua ketakhayulan ini seharusnya sudah kita tinggalkan, karena hal semacam ini tidak bisa diterima dengan akal sehat serta tidak sesuai dengan ajaran kebenaran. Anehnya, orang-orang zaman sekarang yang sudah berpendidikan tinggi dan serba modern masih saja mempercayai adanya ketakhayulan ini, bahkan ia mengajarkan anak-anaknya untuk mempercayai dengan tujuan agar anak-anaknya dapat terbebas dari kesialan. Padahal tanda-tanda buruk ini belum tentu benar, apabila dibuktikan kebenarannya.

Misalnya, apabila ada suara burung gagak di pekarangan rumah kita; apakah benar akan ada orang yang meninggal dunia? Seandainya saja benar, mungkin saja hal ini disebabkan karena di sekitar lingkungan kita ada orang yang terkena penyakit keras yang sulit untuk sembuh ataupun orang yang sudah sewajarnya harus meninggal dunia karena usianya sudah tua. Jadi, meninggalnya seseorang bukan disebabkan oleh suara burung gagak. Bagi mereka yang suka mempercayai adanya ketakhayulan ini bukannya mendatangkan kedamaian, kebahagiaan, tetapi akan mendatangkan keterikatan, belenggu, dan penderitaan baginya. Oleh karena itu, janganlah mudah percaya terhadap hal-hal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Pada zaman Sang Buddha, kejadian ini juga sering terjadi. Salah satunya dikisahkan bahwa di Rajagaha tinggallah seorang brahmana yang memiliki kepercayaan takhayul dan memiliki pandangan salah serta tidak memiliki kepercayaan terhadap Sang Tiratana. Brahmana ini sangat kaya dan memiliki kekayaan yang berlimpah. Pada suatu hari, ada seekor tikus betina yang menggigit pakaian brahmana tersebut di bagian dadanya. Setelah mandi, ia diberitahu bahwa pakaiannya digigit tikus. Kemudian ia menyuruh anaknya untuk membuang baju tersebut dengan menggunakan kayu, karena akan membawa kesialan jika pakaian itu disentuh. Ketika mau dibuang, anak brahmana tersebut bertemu dengan Sang Buddha. Setelah dibuang, Sang Buddha memungutnya dan hal ini diadukan kepada orangtuanya. Lalu brahmana tersebut mendatangi Sang Buddha dengan membawa pakaian yang lebih bagus untuk ditukar dengan pakaian yang telah dibuang itu dengan tujuan agar Sang Buddha terbebas dari bahaya.

Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada brahmana itu bahwa secara jelas saya telah mengumumkan kepada dunia bahwa saya puas terhadap kain-kain bekas yang terdapat di pinggir jalan atau pemandian, sampah atau di tempat pembuangan mayat. Sedangkan engkau memegang kepercayaan ketakhayulan. Kemudian Sang Buddha menceritakan kisah kelahiran yang lampau.

Pada suatu masa, pada saat pemerintahan seorang raja yang adil dari Magadha. Pada saat itu, Sang Buddha terlahir sebagai seorang brahmana. Ketika dewasa ia menjadi petapa. Melihat petapa itu, Sang Raja mengundang ke istana untuk diberikan jamuan makanan dan meminta sang petapa untuk menetap di halaman kerajaan milik raja.

Pada suatu hari, ada seorang brahmana sebagai seorang peramal pakaian dan ia memiliki sepasang pakaian yang digigit tikus persis sama kejadiannya. Pada saat dibuang, Bodhisatta mengambilnya. Ketika diberitahu oleh sang brahmana muda kepada ayahnya, ayahnya mengatakan akan terjadi kematian pada petapa raja. Kemudian brahmana itu menyuruh untuk membuangnya namun sang petapa menjawab; bagi saya, kain bekas yang dibuang adalah cukup baik, karena saya tidak percaya ketakhayulan yang tidak dibenarkan oleh para Buddha, oleh karena itu orang bijaksana sepatutnya tidak mempercayai hal-hal semacam itu. Mendengar kata-kata dari Bodhisatta, ia menyadari kesalahannya dan menyatakan diri berlindung kepada Sang Bodhisatta. Setelah menceritakan kisah itu, Sang Buddha menerangkan; siapapun yang meninggalkan ramalan-ramalan, mimpi-mimpi, pertanda buruk, orang tersebut akan bebas dari ketakhayulan dan akan memperoleh kemenangan atas moral yang rendah dan terbebas dari kemelekatan sampai akhir waktu.

Kita sebagai umat Buddha hendaknya berpedoman kepada ajaran Sang Buddha seperti yang dijelaskan dalam Kalama Sutta. Dengan cinta kasih dan kebijaksanaan, Sang Buddha menerangkan dengan seksama hal mana yang memberikan manfaat dan hal mana yang merugikan, singkatnya Sang Buddha bersabda dalama Kalama Sutta sebagai berikut:

- Janganlah percaya begitu saja pada sesuatu yang telah engkau dengar;

- Janganlah percaya begitu saja pada suatu tradisi, karena telah berlangsung untuk banyak generasi;

- Janganlah percaya begitu saja sesuatu yang sedang dibicarakan dan didesas-desuskan oleh banyak orang;

- Janganlah percaya pada sesuatu hanya karena tertulis dalam kitab-kitab agama;

- Janganlah percaya pada sesuatu yang dikatakan sesuai logika atau kesimpulan belaka;

- Janganlah percaya pada sesuatu yang dikatakan telah direnungkan dengan seksama;

- Janganlah percaya pada sesuatu yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu;

- Janganlah percaya pada sesuatu yang diucap oleh gurumu atau orang-orang yang lebih tua karena demi menghormatinya.

Akan tetapi setelah dianalisa, bahwa sesuatu itu sesuai dengan akal sehat, berfaedah, bermanfaat untuk kebaikan, tidak tercela dan dibenarkan oleh para bijaksana, dan memberi berkah bagi kita dan banyak orang, terimalah sesuatu itu dan jalankan (Kalama Sutta, Aṅguttara Nikāya I, 187-192). Dengan berpedoman kepada ajaran Sang Buddha, kita tidak akan tertipu atau terbelenggu dengan segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, sehingga kita akan terbebas dari ketahayulan atau kesialan dan akan memperoleh kemenangan atas moral yang rendah dan terbebas dari kemelekatan.

ANUSAYA

Anusaya

Janganlah terus menggunakan pikiran untuk memikirkan segala hal, karena ia belum pernah diistirahatkan. Tetapi apabila hal-hal jahat muncul, maka seharusnya gunakan pikiran untuk memeriksanya

Kindred Sayings (Saṁyutta Nikāya) I, 14


Dua Macam Keadaan

Dalam diri seorang manusia, seperti kita ketahui, ada dua hal yang saling bertentangan, yaitu keadaan yang baik (kusala) dan yang buruk (akusala). Dua keadaan ini masing-masing membawa dampak yang berbeda. Yang satu membawa kebahagiaan, yang lain membawa penderitaan.

Sebagai orang yang mencari kebahagiaan, tentu kita harus pandai-pandai memilih mana yang berguna bagi kita dan mana yang merugikan. Setelah kita mengerti bahwa keadaan akusala ini menghalangi kita mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, kita akan berusaha melenyapkan keadaan akusala tersebut dalam diri kita dan mengembangkan keadaan kusala.

Akusala

Keadaan akusala dipelopori oleh lobha, dosa, dan moha. Apapun yang dipelopori oleh ketiga hal ini, baik ketika berbuat, berucap, maupun berpikir akan menghasilkan penderitaan sebagai akibatnya. Masalah akan timbul jika mereka muncul. Karena itu, penting sekali untuk menyadari penyebab penderitaan ini agar kita dapat menghindarinya.

Tujuan kita belajar Dhamma (pariyatti) adalah untuk menyadari adanya akusala dalam diri kita. Pengertian Dhamma yang kita miliki akan memungkinkan kita untuk menyadarinya. Karena tanpa menyadarinya, kita tidak akan mampu untuk melenyapkannya.

Kemudian, sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, kita akan mulai untuk mempraktikkan Dhamma dalam kehidupan kita, sehingga mulailah terjadi penyesuaian antara pengetahuan intelektual dengan tingkah laku kita. Apa yang kita ketahui sebagai kebaikan secara teori, akan mulai kita terapkan, sehingga pengetahuan yang kita miliki akan berguna bagi kita. Jika Dhamma tidak kita jalankan, maka tidak akan berguna dan tidak akan mendatangkan hasil apapun.

Halusnya Kilesa

Dalam aksinya, kilesa atau kekotoran batin, bekerja dengan cara yang sangat halus, sehingga kita akan mudah tertipu olehnya. Meskipun kita sudah mengetahui dan berusaha menjalankan Dhamma dengan baik, menjaga ucapan, perbuatan serta pikiran kita, tetapi di saat kita lengah maka kilesa akan muncul dan menguasai kita.

Tanpa kita sadari, kita sudah melakukan hal-hal akusala. Pada saat itu kita akan mudah melanggar sila, mengucapkan kata-kata yang kasar, menyakiti orang lain, bersikap semena-mena, mementingkan diri sendiri, ataupun marah-marah, dan sebagainya. Setelah keadaan ini terjadi, kita menjadi tenang kembali, dapat menguasai diri, barulah kita menyesalinya. Kenapa saya berbuat demikian? Pada saat itu, kita mungkin bertekad untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Tetapi, lagi-lagi, di kemudian hari, ketika kita lengah, kita melakukan kesalahan lagi. Dan, lagi-lagi kita menyesalinya, lagi-lagi kita melakukannya. Begitu seterusnya.

Kalau kita amati hal di atas, kita akan mengetahui betapa pentingnya Dhamma, ajaran Sang Buddha. Dhamma ini membuat kita menyadari apa yang baik dan buruk, dan juga dapat menjadi pengingat bagi kita. Di kala kita lengah dan kemudian kita mengingat Dhamma, kita akan menjadi lebih sadar.

Berhubung kita masih memiliki sisi yang buruk, kita membutuhkan semacam peta atau petunjuk jalan bagi kita. Dhamma inilah yang dapat kita jadikan sebagai kompas dalam menjalani kehidupan (saṁsara), sehingga kita tidak akan tersesat, kita akan aman dan sampai pada tujuan. Meskipun kita melalui hutan belantara, tetapi akan berbahaya jika kita sampai salah melangkah.

Tujuh Anusaya

Hal-hal yang dapat kita hindari agar tidak salah melangkah adalah tujuh Anusaya atau Kekotoran Batin yang Laten, yaitu:

a. Nafsu keinginan Indria (kāmarāga)

b. Mudah tersinggung (paṭigha)

c. Melekat pada pandangan-pandangan keliru (diṭṭhi)

d. Keraguraguan (vicikicchā)

e. Kesombongan (māna)

f. Melekat pada kehidupan (bhavarāga)

g. Ketidaktahuan (avijjā)

(Aṅguttara Nikāya II, ii.)

Anusaya ini dikatakan sebagai laten karena walaupun mereka tidak muncul di pikiran, tetapi sebenarnya mereka tidak lenyap. Mereka berdiam jauh di bawah sadar kita. Mereka hanya beristirahat sejenak. Dan setiap saat, jika ada kondisi yang tepat, jika ada rangsangan yang kecil sekalipun, mereka dapat segera muncul kembali dengan kekuatan yang besar dan akan menguasai kita kembali.

Meskipun kita mengetahui masih memiliki ketujuh hal ini dalam diri kita, dan mungkin saja kita sedang dikuasai olehnya saat ini, tetapi kita mulai menyadari bahwa mereka sesungguhnya berbahaya. Mereka adalah musuh kita yang menyebabkan kita sengsara sehingga kita mulai enggan berurusan dengan mereka. Kita mulai tidak terlalu mempedulikan emosi yang muncul. Seandainya mereka muncul, kita tidak perlu menganggapnya terlalu penting, dan tidak perlu mengikutinya.

Pada saat ini, kita mulai menyadari penyebab masalahnya adalah kita sendiri. Kita masih memiliki hal-hal negatif dalam diri kita. Tetapi kita tidak perlu merasa kecewa dengan diri sendiri. Karena bagaimanapun keadaan kita, kita dapat berubah menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi.

”Tinggalkanlah kejahatan, O para bhikkhu! Para bhikkhu, manusia dapat meninggalkan kejahatan. Seandainya saja manusia tidak mungkin meninggalkan kejahatan, Aku tidak akan menyuruh kalian melakukannya. Tetapi karena hal itu dapat dilakukan maka Kukatakan, ’tinggalkan kejahatan!’

Seandainya saja meninggalkan kejahatan ini akan membawa kerugian dan penderitaan, Aku tidak akan menyuruh kalian meninggalkan kejahatan. Tetapi karena meninggalkan kejahatan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan, maka Kukatakan, ’tinggalkan kejahatan!’ ”,

Hidup adalah Pilihan

Hidup adalah Pilihan

Dhammañ care sucaritaṁ, Na taṁ duccaritaṁ care,
Dhammacārī sukhaṁ seti, Asmiṁ loke paramhi ca

Hiduplah sesuai dengan Dhamma, tidak mengikuti cara hidup yang salah. Seseorang yang mengikuti ajaran Dhamma secara benar akan hidup bahagia dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang.

(Dhammapada 169)


Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak dari jaman dahulu, sekarang maupun yang akan datang, semua makhluk terutama manusia menginginkan kesejahteraan, kedamaian, kenyamanan ataupun kebahagiaan. Dalam mewujudkan semua itu, setiap makhluk menggunakan cara yang berbeda-beda sehingga memberikan hasil yang berbeda-beda pula. Ada cara yang pantas dan pula cara yang tidak pantas. Kita hendaknya selalu berusaha menggunakan cara-cara yang baik dan benar. Kalau cara-cara yang digunakan tidak benar, maka akan menyebabkan kerugian, kesulitan, ataupun penderitaan bagi diri kita maupun pihak lain, sehingga kebahagiaannya pun akan seperti umpan dengan mata kail. Sebagai contoh, hewan dalam memenuhi kebutuhan selalu berusaha untuk saling mengalahkan, merebut, bahkan tidak sedikit yang saling membunuh.

Pada jaman sekarang yang semakin modern, tidak sedikit manusia yang perilakunya seperti hewan bahkan lebih dari itu, sehingga menyebabkan penderitaan bagi banyak makhluk. Bila dibandingkan, hewan sedikit lebih baik daripada manusia yang buruk perilakunya, karena hewan merasa lapar maka mereka akan mencari makanan sesuai dengan kebutuhannya. Sudah kenyang lalu beristirahat, kalaupun menimbun makanan hanyalah sedikit dan cukup untuk dirinya atau kelompoknya. Berbeda dengan manusia yang moralnya buruk, setelah mendapat yang diinginkan, masih ingin lagi dengan berbagai alasan, menimbun sebanyak-banyaknya. Kalau perlu semuanya diambil, tidak peduli dengan yang lain, yang penting hasratnya terpenuhi. Kalau demikian, bukankah manusia lebih berbahaya dari hewan?

Bila dalam pemenuhan kebutuhan cara-cara yang digunakan tidak sesuai dan bertentangan dengan kemoralan, maka kebahagiaannya akan bersifat semu, berubah menjadi penderitaan. Seperti ikan yang memakan umpan yang di dalamnya terdapat kail, sesaat merasakan kesenangan tetapi sesaat itu pula mendapatkan penderitaan. Demikian pula dengan pemakai barang-barang narkotik, minuman keras, dan sejenisnya, maka kesenangan yang didapat hanyalah sementara, tetapi akibatnya sangatlah buruk terhadap batin dan jasmani. Secara fisik, organ-organ tubuhnya akan mudah terserang penyakit, sedangkan mentalnya akan mudah muncul rasa marah, benci, curiga, dendam, serakah, dan lainnya yang bertentangan dengan tujuan pencapaian kebahagiaan. Setelah itu bukan hanya dirinya yang mengalami penderitaan, orangtua, keluarga, kerabat bahkan banyak pihak turut mendapatkan kesusahan.

Patut kita renungkan, bahwa hidup ini sungguh singkat dan tidak pasti, sedangkan kematian adalah pasti. Perubahan terjadi sungguh cepat dan terus-menerus. Bila kita tidak bergegas berbuat kebajikan, maka kita hanya akan menyesal di kemudian hari. Seperti Dhammapada syair 116 berikur: ”Bergegaslah berbuat kebajikan dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan. Barangsiapa lamban berbuat baik, maka pikirannya akan senang dalam kejahatan. Oleh karena itu, tidak sepantasnya kita hanya bersenang-senang tanpa membuat sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan sekarang ini. Tujuan melaksanakan Dhamma adalah untuk mengakhiri penderitaan, bukan untuk kesenangan intelektual ataupun untuk diperdebatkan. Dalam Āḷavaka Sutta, Sutta Nipāta syair 189, ada empat cara yang dapat menunjang kehidupan seseorang untuk mencapai kebahagiaan terutama dalam pergaulan hidup dengan lingkungan. Keempat cara itu adalah:

1. Sacca: kebenaran atau kejujuran. Dalam keadaan apapun hendaknya kita senantiasa bertindak jujur. Membiasakan kebenaran atau kejujuran, kita akan mudah mendapat tempat dalam pergaulan, dipercaya banyak orang dan dapat diandalkan. Kebenaran atau kejujuran juga membimbing seseorang memiliki kesetiaan.

2. Dama: pengendalian diri, usaha untuk melatih diri agar dapat mengendalikan perbuatan melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan jasmani. Ketika berada dalam kondisi yang baik atau kurang baik, pengendalian diri sangat penting untuk memunculkan kebijaksanaan. Ketika hal-hal baik muncul, tidak menjadi terbuai, terhanyut, serakah ataupun melekat, dan sebaliknya hal-hal buruk muncul maka tidak menjadi marah, benci, ataupun memusuhinya.

3. Khanti: kesabaran. Kita hendaknya berusaha mengembangkan kesabaran dalam segala kondisi. Bekerja, belajar, dan menunggu adalah suatu kondisi untuk melatih kesabaran. Bukan hanya pada saat mengalami penderitaan kita harus bersabar, tetapi saat bahagia pun kita harus mengembangkan kesabaran. Dalam kehidupan sehari-hari, kesabaran harus dikembangkan. Ketika menghadapi situasi yang baik, hendaknya tanpa dilandasi dengan rasa keserakahan, dan ketika menghadapi situasi yang tidak baik hendaknya rasa kebencian tidak dimunculkan. Jika kita telah benar-benar menunaikan hal-hal tersebut, maka kita dapat disebut orang yang sabar.

4. Cāga: kemurahan hati, adalah suatu usaha untuk meringankan penderitaan makhluk lainnya. Kita harus saling berbagi dengan sesama sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Melalui pikiran; kita dapat memberikan ide, gagasan, atau paling tidak berusaha berpikir positif setiap saat. Melalui ucapan; bertutur kata yang ramah, sopan, tidak menyinggung orang lain, menghindari isu, gosip, ataupun ucapan yang tidak benar. Melalui jasmani; kita dapat membantu dengan tenaga, menjaga kebersihan dan kerapian, minimal di tempat kita berada. Bentuk lain dari kemurahan hati adalah dengan cara memaafkan kesalahan orang lain. Terhadap hewan, kita berusaha menghindari penyiksaan dan pembunuhan, bahkan kita dapat memberikan kebebasan dengan melepaskannya pada tempat yang sesuai. Melalui hal-hal tersebut kita dapat berlatih kemurahan hati.

Kehidupan yang sesungguhnya adalah sebuah pilihan. Kebahagiaan dan penderitaan ditentukan oleh perbuatan masing-masing individu. Siapapun berhak untuk menentukan jalan hidupnya dan akan merasakan hasil yang sesuai dengan perbuatannya. Kebahagiaan yang diperoleh bukan hadiah ataupun bonus, melainkan sebagai bentuk konsekuensi dari kebajikan-kebajikan yang pernah dilakukan. Demikian juga penderitaan yang terjadi, bukan suatu kutukan atau hukuman, melainkan hasil dari perbuatan-perbuatan tidak sehat, negatif atau buruk yang memberikan akibat sesuai dengan syarat-syarat dan kondisi yang mendukung.

Sebagai contoh, bila kita ingin memetik buah dari pohon, kita harus membuat kondisi dan syarat agar pohon tersebut tumbuh dengan baik dan subur dengan cara memperhatikan benih, air, tanah, sinar matahari, pupuk, penyakit, hama, dan sebagainya sehingga dapat menghasilkan buah yang maksimal.

Demikian juga dengan perbuatan yang kita lakukan. Kebahagiaan sebagai tujuan dari semua makhluk dapat dicapai dalam kehidupan ini, bahkan sebagai manusia kita mempunyai potensi yang sangat besar untuk mencapai kebahagiaan tertinggi. Kata manussa dalam bahasa Pāḷi, bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah manusia yang berasal dari kata mana yang berarti pikiran, sehingga arti dari manussa adalah makhluk manusia yang dapat mengembangkan, mengolah, dan meningkatkan pikiran menuju kesempurnaan. Oleh sebab itu, janganlah sia-siakan kesempatan hidup sebagai manusia, karena untuk terlahir sebagai manusia tidaklah mudah. Manusia memiliki potensi yang besar untuk mencapai kesempurnaan serta mengakhiri penderitaan. Marilah kita bersama-sama meningkatkan kualitas perbuatan baik dan berusaha mengikis keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.

ANICCA

Anicca

Ratiyā jāyatī soko, ratiyā jāyatī bhayaṁ
Ratiyā vippamuttassa, natthi soko kuto bhayaṁ

Dari kemelekatan timbul kesedihan, dari kemelekatan timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari kemelekatan, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan

(Dhammapada 214)



Bagi orang yang pertama kali belajar agama Buddha, sulit untuk menerima pernyataan Sang Buddha bahwa kehidupan ini adalah penderitaan, kehidupan ini adalah tidak memuaskan, dukkha. Sehingga kemudian, orang menilai bahwa agama Buddha sangat pesimistis, agama Buddha tidak ceria. Sebenarnya, ketika menerangkan fenomena itu, Sang Buddha memberikan penjelasan yang terus terang, blak-blakan, dan tanpa ditutup-tutupi.

Kalau kita mengakui secara jujur, kehidupan sekarang ini bukanlah suatu kenikmatan yang tertinggi. Kehidupan ini bukan suatu puncak, bukan suatu keadaan yang sesuai dengan harapan kita yang sesungguhnya. Kalau kita konsekuen bahwa kehidupan ini adalah kenikmatan tertinggi, maka kehidupan ini adalah memuaskan, sehingga kita tidak perlu berjuang, tidak perlu meningkatkan kesejahteraan hidup, dan kita tidak perlu beragama. Kenyataannya, kita harus terus-menerus berjuang, untuk mewujudkan cita-cita luhur yang ingin kita capai.

Dalam Dhammacakkappavattana Sutta, Saṁyutta Nikāya Sang Buddha menjelaskan Empat Kebenaran Mulia yang Beliau temukan. Adanya penderitaan merupakan kebenaran mulia yang pertama. Tidak berhenti di situ, Sang Buddha menerangkan kebenaran-kebenaran mulia lainnya, yaitu; sebab dari penderitaan, penderitaan dapat dilenyapkan, dan ada jalan untuk melenyapkan penderitaan. Empat Kebenaran Mulia ini juga dapat diibaratkan dengan identifikasi dan diagnosis suatu penyakit, kesembuhan, dan cara-cara untuk mendapatkan kesembuhan.

Karena manusia tidak suka menderita, sebagian besar manusia menghalangi kesadarannya pada kenyataan penderitaan, sehingga manusia tidak menyadari kondisi yang sebenarnya. Manusia bisa saja berpura-pura bahwa segala sesuatu adalah memuaskan walaupun kenyataannya tidak demikian. Manusia bisa saja menolak untuk memperhatikan penderitaan dengan manyalahgunakan alkohol dan obat-obatan, atau melalui pengaturan jadwal yang ketat sehingga tidak memiliki waktu untuk melakukan refleksi atas dirinya sendiri. Tetapi sampai kapan? Sampai kapan manusia harus lari dari kenyataan penderitaan? Lari dari kenyataan hanya akan menambah masalah baru yang tidak perlu.

Penderitaan itu untuk diatasi, bukan untuk ditakuti ataupun dihindari. Penderitaan juga untuk disadari, dipahami, kemudian diatasi. Satu ilustrasi, kalau kita mengidap penyakit, kita harus mau mengakui bahwa kita sedang sakit. Kita hendaknya mengakui kenyataan itu. Kita harus sadar bahwa demikianlah adanya kehidupan ini sehingga melalui kesadaran adanya penyakit, kita akan mengobatinya melepaskan diri dari jeratannya. Bukan dengan berpura-pura tidak sakit, tidak peduli, sehingga kita menjauhi obat. Akibatnya, penyakit terus menggerogoti kita. Fatal, bukan?

Sang Buddha mengajarkan kita untuk menjadi dewasa dalam menghadapi kehidupan, menghadapi kenyataan yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Jangan melekat pada keduanya atau hanyut dalam kesenangan dan penderitaan. Kita diajarkan untuk menjadi dewasa dalam menghadapi perubahan dan tidak mungkin menghentikan perubahan. Kita tidak mungkin menolak perubahan, karena perubahan adalah sifat kehidupan ini. Perubahan adalah corak dasar kehidupan ini.

Ajaran Sang Buddha bukan untuk menghentikan perubahan, tetapi untuk menghentikan penderitaan. Tidak menderita dalam menghadapi perubahan, itulah yang diajarkan Sang Buddha. Kalau suatu ketika kita memiliki kedudukan yang tinggi, maka mau tidak mau kita harus siap turun dari kedudukan itu.

Sayangnya, sekali menjadi pejabat, manusia ingin menduduki jabatan itu selamanya. Mereka yang seperti ini sedang menderita penyakit AIDS (aku ingin di atas selalu). Manusia lupa bahwa kehidupan ini adalah perubahan. Manusia lupa bahwa kehidupan ini tidak kekal, tidak statis, dan dinamis. Demikianlah, orang yang menolak perubahan adalah orang yang paling menderita di dunia ini.

Sang Buddha telah menunjukkan kepada kita bahwa kita mempunyai potensi untuk maju, mempunyai potensi untuk berubah menjadi lebih baik. Bagi mereka yang senang meratapi penderitaannya, tentu saja mereka beranggapan bahwa kesuksesan tidak berada dalam genggamannya. Tetapi, bagi mereka yang sudah terlepas dari pandangan sempit dan telah menggali kemampuan dirinya, maka kesuksesan berada dalam genggamannya. Ia yang menyadari potensi dirinya akan selalu siap menghadapi kehidupan ini. Ia yang mempercayai kemampuannya tidak akan ragu-ragu, tidak akan bimbang dalam menghadapi setiap masalah.