ManGala Sutta (Berkah Utama)

Sunday, March 29, 2009

Tanya Jawab Soal Buddhist

TANYA JAWAB:

Tanya 01 :

Apakah dalam Agama Buddha ada surga dan neraka, seperti dalam agama lain?

Jawab :

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa terdapat tiga tujuan hidup seorang umat Buddha yaitu bahagia di dunia, kemudian, bahagia setelah kehidupan ini yaitu terlahir di alam surga dan juga bahagia karena terbebas dari kelahiran kembali ketika seseorang telah mencapai Nibbana. Dengan demikian, dalam Agama Buddha pasti ada surga maupun neraka. Bahkan, surga dalam Agama Buddha lebih dari satu tingkat. Banyaknya jenis alam surga ini karena tingkat kebajikan yang dilakukan seseorang tidaklah sama dengan kebajikan yang dilakukan oleh orang lain. Jadi, mereka yang lebih banyak melakukan kebajikan akan terlahir di surga yang lebih tinggi dan lebih lama daripada mereka yang kurang kebajikannya. Hal ini hampir sama dengan orang yang mempunyai uang lebih banyak tentunya akan mempunyai kesempatan membeli kendaraan lebih banyak pula daripada mereka yang mempunyai uang lebih sedikit. Kendaraan yang mampu dibeli juga berbeda fasilitasnya. Semakin kaya seseorang, tentu semakin bagus pula fasilitas kendaraan yang dapat ia peroleh. Jadi, para prinsipnya, perbanyak kebajikan dengan badan, ucapan serta pikiran maka seseorang akan terlahir di surga yang lebih baik daripada mereka yang kurang kebajikannya.

Sebaliknya, selain alam surga sebagai buah kebajikan yang dilakukan seseorang semasa hidupnya, maka tentu terdapat pula alam menderita atau alam neraka yang merupakan buah perilaku buruk yang pernah dijalani selama hidup yang sebelumnya. Alam neraka juga mempunyai banyak tingkat. Dengan demikian, semakin jahat perilaku seseorang, semakin buruk pula kondisi neraka yang ia jumpai. Hal ini sama dengan penjahat yang melakukan banyak kejahatan akan mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada penjahat yang bentuk kejahatannya tidak terlalu berat.

Tanya 02 :

Setelah manusia meninggal masih adakah surga atau neraka yang kekal? Bagaimana kita bisa tahu jalan menuju ke surga / Nibbana? Apa yang dijadikan patokan bahwa jalan kita yang dilewati itu benar?

Jawab :

Dalam pengertian Buddhis, seseorang yang meninggal akan segera terlahir kembali di alam surga atau neraka sesuai dengan buah kamma yang ia miliki. Mereka yang mempunyai banyak kamma baik akan terlahir di surga atau alam bahagia. Mereka yang banyak mempunyai kamma buruk akan terlahir di alam menderita, termasuk alam neraka. Namun, alam surga maupun neraka dalam Dhamma disebutkan tidak kekal. Oleh karena itu, ketika buah kamma yang mendukung kelahiran di suatu alam telah habis, maka mahluk itu akan meninggal dari alam tersebut untuk terlahir kembali di alam yang sesuai.

Dan, untuk mengetahui jalan ke surga maupun Nibbana, dalam uraian di atas sudah dijelaskan bahwa Ajaran Sang Buddha memberikan bukti dengan menguraikan cara-cara untuk mencapai kebahagiaan di dunia. Pada pokoknya disebutkan bahwa segala suka dan duka hanyalah akibat permainan pikiran sendiri. Pikiran akan bahagia ketika keinginan tercapai, sebaliknya pikiran menderita ketika keinginan tidak tercapai. Dengan memahami kenyataan ini, seseorang hendaknya melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan agar ia mampu mengendalikan keinginan. Kemampuan untuk mengendalikan keinginan inilah yang akan menimbulkan kebahagiaan dalam batin seseorang. Kebahagiaan dalam batin ini juga akan mengkondisikan kebahagiaan di lingkungannya. Kebahagiaan di lingkungan akan mampu mewujudkan kebahagiaan di dunia. Setelah seseorang mampu membuktikan kebenaran Ajaran Sang Buddha untuk mencapai kebahagiaan di dunia, maka ia tentunya akan lebih yakin bahwa Dhamma Ajaran Sang Buddha mampu juga memberikan jalan hidup bahagia dengan terlahir di alam surga. Ia juga akan yakin bahwa pelaksanaan Buddha Dhamma akan mengkondisikan seseorang mencapai kesucian atau Nibbana dalam kehidupan ini juga. Jadi, kunci keyakinan pada Buddha Dhamma adalah kesempatan untuk membuktikan terlebih dahulu kebenaran Dhamma dalam kehidupan ini juga.

Tanya 03 :

Apakah Agama Buddha percaya adanya malaikat dan hantu?

Jawab :

Malaikat atau lebih dikenal dalam istilah Buddhis sebagai dewa dan dewi adalah para penghuni surga. Sedangkan hantu adalah mahluk halus dalam Agama Buddha disebutkan ada beberapa jenis. Ada mahluk yang disebut sebagai setan kelaparan, ada juga yang disebut setan raksasa maupun berbagai jenis lainnya. Oleh karena itu, sudah jelas bahwa Agama Buddha mengakui keberadaan para dewa dan dewi serta para mahluk halus. Meskipun demikian, umat Buddha sama sekali tidak dianjurkan untuk meminta maupun memuja mereka. Umat Buddha hanya mengetahui saja bahwa mereka adalah bagian dari para mahluk yang terlahir di berbagai alam kelahiran.

Tanya 04 :

Apakah Agama Buddha terdapat manusia pertama?

Jawab :

Sebenarnya tujuan Dhamma Ajaran Sang Buddha lebih cenderung dipergunakan untuk mengendalikan pikiran, ucapan dan perbuatan. Dan, kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri ini sama sekali tidak ada hubungan langsung dengan pengetahuan tentang manusia pertama. Tanpa mengetahui manusia pertama sekalipun, seseorang bisa saja mencapai kesucian. Namun, dalam salah satu kesempatan, kepada mereka yang telah mempunyai kemampuan batin dari latihan meditasi yang tekun sehingga mampu mengingat berkali-kali muncul dan kiamatnya bumi, barulah Sang Buddha menceritakan terjadinya manusia pertama. Cerita Sang Buddha hanya kepada mereka yang mampu mengingat terbentuk dan kiamatnya bumi ini agar ada orang yang bisa menyaksikan serta mengingat sendiri peristiwa yang disampaikan Sang Buddha. Tentu saja, sikap Sang Buddha ini berhubungan dengan pengertian dasar dalam Dhamma yaitu ‘datang dan buktikan’, bukan ‘datang dan percaya saja’.

Dalam kisah yang disampaikan oleh Sang Buddha, manusia pertama bukan hanya satu atau dua orang saja, melainkan banyak. Mereka bukan hasil ciptaan. Mereka merupakan hasil sebuah proses panjang bersamaan dengan proses terjadinya bumi beserta planet-planetnya. Seperti diketahui bahwa dalam pengertian Dhamma, tata surya seperti yang dihuni manusia saat ini bukan hanya satu melainkan lebih dari satu milyar jumlahnya. Masing-masing tata surya ketika kiamat akan terbentuk lagi. Pada saat terjadinya bumi ini, datanglah mahluk-mahluk berupa cahaya dari tata surya yang lain. Mereka berproses bersamaan dengan proses pembentukan tata surya ini. Dalam proses tersebut mereka tertarik mencicipi dan mengkonsumsi sari bumi, sari tumbuhan dsb. Ketertarikan mereka menyebabkan tubuh cahaya menjadi redup dan mulai terjadilah proses pembentukan tubuh, jenis kelamin, persilangan serta keturunan. Dan, sekali lagi, manusia pertama karena merupakan hasil proses seperti ini, jumlahnya tidak bisa ditentukan lagi. Sangat banyak. Mereka berproses dan berevolusi secara lambat sampai membentuk manusia sekarang. Hanya saja, dalam Dhamma juga tidak membenarkan maupun menolak pandangan ilmu pengetahuan modern bahwa manusia berasal dari monyet. Sikap ini sehubungan dengan kepastian bahwa asal manusia dari monyet ataupun bukan sama sekali tidak ada kaitan dengan keberhasilan seseorang untuk mencapai kesucian ataupun Nibbana.

Tanya 05 :

Alam manusia di dalam Agama Buddha dikatakan sebagai alam yang paling baik untuk mencapai kesempurnaan. Kenapa demikian?

Jawab :

Dalam pandangan Dhamma, hidup sebagai manusia mempunyai kesempatan lebih besar untuk menyaksikan ketidakkekalan. Manusia mudah bertemu dengan yang tidak disuka dan berpisah dengan yang disuka. Kejelasan akan ketidakkekalan ini mempermudah manusia untuk membuktikan kebenaran Kesunyataan Mulia yang pertama yaitu hidup berisikan ketidakpuasan. Dengan menyadari Kesunyataan Mulia yang pertama, maka manusia akan mampu merenungkan bahwa segala sumber ketidakpuasan adalah keinginan. Dengan demikian, timbul dalam batinnya semangat untuk melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan mengatasi ketidakpuasan. Pelaksanakan Jalan Mulia inilah yang akan dapat membebaskan manusia dari kemelekatan sehingga ia dapat mencapai Nibbana atau konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha. Kemungkinan besar manusia mencapai kesucian dalam kehidupan inilah yang mendasari pengertian bahwa terlahir sebagai manusia adalah sebuah kondisi yang ideal untuk mencapai kesempurnaan.

Sedangkan di berbagai alam surga maupun alam menderita karena jangka waktu bahagia dan menderita berlangsung sangat lama maka para mahluk di sana tidak mampu melihat ketidakkekalan. Mereka sulit menyadari adanya perubahan. Dengan demikian, merekapun sulit untuk memahami Empat Kesunyataan Mulia dan mencapai kesucian di alam surga maupun alam menderita.

Tanya 06 :

Saya setuju bahwa Nirwana bisa dijumpai dalam kehidupan sekarang. Apakah mungkin bila tidak bertemu sekarang, orang tidak akan mencapai Nirwana?

Jawab :

Nirvana atau Nibbana memang tidak harus dicapai dalam satu kehidupan ini. Kalaupun seseorang masih belum mampu mencapainya dalam kehidupan ini, ia hendaknya terus menerus melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan, sehingga dalam satu masa kehidupan yang akan datang, ia mungkin baru akan mencapainya. Namun, sebelum mencapai Nibbana, seseorang yang terus melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan dengan tekun pasti akan mendapatkan kebahagiaan di dunia ini maupun kebahagiaan setelah kehidupan ini yaitu terlahir di alam bahagia. Jadi, bagaimanapun juga, pelaksanaan Jalan Mulia Berunsur Delapan selalu memberikan manfaat dalam kehidupan ini maupun kehidupan yang selanjutnya sampai seseorang mencapai kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana.

Tanya 07 :

Nasib, apakah ada dan bagaimana cara menanggulangi, kiat mengatasi nasib?

Jawab :

Dalam pengertian Dhamma tidak dijumpai istilah nasib, kodrat maupun takdir. Dalam Agama Buddha lebih dikenal istilah ‘kamma’ (Bhs. Pali) atau ‘karma’ (Bhs. Sanskerta). Dengan mengenal berlakunya Hukum Kamma yang juga sering diartikan sebagai Hukum Sebab dan Akibat, perjalanan hidup seseorang dapat diubah. Dasar pengertian Hukum Kamma adalah mereka yang melakukan kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian, semakin banyak seseorang melakukan kebajikan, semakin besar pula kemungkinan dia untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan ini pula. Dengan demikian, seseorang yang ingin hidup berbahagia, ia harus memperbanyak kebajikan dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Sedangkan, mereka yang telah hidup berbahagia, ia hendaknya tidak pernah bosan untuk terus menambah kebajikan agar hidupnya semakin berbahagia.

Sebagai contoh bahwa perjalanan hidup seseorang dapat diubah melalui perbuatan (kamma) yang harus ia kerjakan saat ini adalah kisah tentang seseorang yang dilahirkan dalam kondisi menderita akibat kekurangan materi. Apabila ia dalam hidupnya mampu selalu memperbanyak kebajikan, maka kondisi penderitaan yang dialami mungkin saja berubah 180 derajad. Berubah total. Mungkin dengan berbagai kebajikan dan kejujuran yang telah dilakukan akan mengkondisikan ia mudah mencari kerja dan mendapatkan kepercayaan. Dengan demikian, dalam waktu singkat, perjalanan hidupnya dapat berubah total. Mungkin saja, ia menjadi orang yang lebih mampu daripada sebelumnya. Mungkin ia bahkan mampu mengajak orangtuanya hidup bersama dengannya.

Sebaliknya, mereka yang terlahir dalam kondisi kecukupan secara materi misalnya, apabila tindakan yang ia lakukan tidak baik yaitu dengan melakukan pelanggaran lima latihan kemoralan, maka hidupnya mungkin akan berubah total. Ia menjadi orang yang tidak disukai lingkungannya. Ia menjadi orang yang tidak bahagia. Dengan demikian, sudah jelas sekarang bahwa perbuatan seseorang atau kamma sangatlah berperanan untuk mengkondisikan hidup seseorang menjadi bahagia atau bahkan lebih bahagia serta mampu menghindari penderitaan.

Tanya 08 :

Kalau kita berbuat baik berdasarkan pamrih apakah itu juga akan ada karma baiknya?

Jawab :

Dalam kenyataan, setiap orang yang belum mencapai kesucian atau terbebas dari ketamakan, kebencian serta kegelapan batin pasti ia akan melakukan suatu perbuatan dengan pamrih. Memiliki pamrih selama tidak dibarengi dengan kemelekatan, kiranya masih dapat dianggap wajar. Oleh karena itu, dalam rumusan doa di atas disebutkan niat ”Semoga dengan kebajikan yang saya lakukan sampai saat ini akan membuahkan kebahagiaan dalam bentuk ….” Sepintas ‘doa’ ini memang tampak berpamrih, namun, sebenarnya rumusan doa ini dipergunakan untuk mengarahkan para umat dan simpatisan Buddhis yang masih dalam tahap awal agar mereka berkenan melaksanakan kebajikan secara lebih terarah. Sedikit demi sedikit, apabila batinnya mulai meningkat dengan pengertian Dhamma, maka ia pun akan bisa diarahkan untuk mencapai kesucian atau Nibbana. Dalam tahap akhir seperti ini, semua tindakan yang dilakukan tidak akan lagi mengharapkan pamrih. Semua tindakan dilakukan demi tindakan itu sendiri. Kondisi ini seperti bunga yang mekar demi mekarnya sendiri, bukan karena ingin diletakkan di tempat yang bagus atau menghindari tempat yang buruk.

Adapun perbuatan yang berpamrih, sejauh masih dapat digolongkan sebagai perbuatan baik yang mampu memberikan kebahagiaan untuk banyak fihak, maka si pelaku masih tetap dianggap menanam kamma baik yang pada suatu saat nanti akan ia rasakan buah kebahagiaannya.

Tanya 09 :

Dalam kenyataan hidup, kita selalu merasa kurang. Punya uang puluhan milyar, juga masih kurang. Karena hidup ini tidak kekal, contohnya, kalau kalah dagang atau bangkrut, belum tentu besok ada teman kita yang mau menolong. Dalam hal ini mohon pengertian, sehingga kita merasa cukup.

Jawab :

Pengertian ‘cukup’ memang bersifat sangat relatif. Oleh karena itu dalam Dhamma sebagai ukuran minimal atau paling rendah adalah kecukupan yang dialami oleh para bhikkhu. Para bhikkhu sudah cukup dengan terpenuhinya kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal maupun sarana kesehatan. Makanan para bhikkhu cukup sehari sekali atau dua kali saja sebelum tengah hari. Pakaian cukup dengan satu set jubah. Tempat tinggal cukup apabila sudah dapat membaringkan tubuh di goa maupun di gubuk. Sarana kesehatan dengan menggunakan therapi urine sudah cukup. Jadi, apabila seseorang telah mampu menyediakan sedikit lebih dari keperluan minimal seorang bhikkhu, maka ia sesungguhnya bisa disebut cukup. Namun, kalau sampai menyediakan secara berlebihan masih terasa tidak cukup, hal itu lebih disebabkan karena adanya ketamakan. Demikian pula dengan uang yang puluhan milyar, jika ia tidak mampu mengendalikan diri dari keinginan, maka sesungguhnya ia sudah terjebak dalam ketamakan.

Kalau seseorang kuatir gagal dalam usaha dan tidak ada yang menolong, maka ia harus berusaha mandiri secara ekonomi dengan menyimpan hartanya di tempat yang sesuai. Dengan demikian, ketika ia bangkrut dan tidak ada yang menolong, ia masih bisa menolong dirinya sendiri. Besarnya simpanan yang diperlukan tentu berdasarkan kebijaksanaan, bukan karena ketamakan. Menentukan beda kebijaksanaan dan ketamakan kiranya membutuhkan kesadaran tinggi yang tidak bisa ditentukan oleh orang lain. Dalam Dhamma, semua ini bukanlah keharusan. Memiliki uang sedikit bisa disebut cukup, memiliki uang puluhan milyar bisa merasa tidak cukup. Semuanya berpulang pada kebijaksanaan diri sendiri.

Tanya 10 :

Kalau kita sembahyang dengan saji-sajian misalnya makanan, minuman dan buah-buahan apakah betul itu diterima atau sebagai simbolis?

Jawab :

Sesajian yang dipersembahkan dalam upacara ritual Buddhis sesungguhnya lebih bersifat tradisi dan simbolis. Kebiasaan mempersembahkan makanan di altar Sang Buddha dimulai sejak Sang Buddha wafat. Para murid yang sudah berpuluh tahun membantu Sang Buddha mempersiapkan makanan, ketika Sang Buddha wafat mereka masih juga mempersiapkan makanan yang disajikan serta dibereskan pada waktu-waktu tertentu setiap harinya. Kebiasaan ini berlangsung turun temurun sehingga akhirnya sampai sekarang masih banyak orang yang mempersembahkan makanan, minuman maupun buah-buahan di altar Sang Buddha maupun altar yang lain.

Persembahan makanan, buah dsb di altar lebih ditujukan untuk melakukan penghormatan. Selain itu, persembahan juga mempunyai makna simbolis atau lambang bahwa seseorang yang telah mampu memberikan buah atau makanan yang terbaik di altar, hendaknya ia juga mampu memberikan pikiran, ucapan serta perbuatan yang terbaik kepada lingkungannya agar memberikan kebahagiaan serta kedamaian bagi semua fihak.

Tanya 11 :

Apakah karma seseorang bisa diketahui dan bagaimana ciri-cirinya?

Jawab :

Dalam tradisi yang berkembang di masyarakat Buddhis, kamma bisa saja dikenali dari wujud luar seseorang. Hal ini juga disebutkan dalam salah satu syair Dhamma bahwa setiap orang dilahirkan oleh kamma sendiri, dilindungi oleh kamma sendiri. Jadi, bentuk lahir seseorang adalah bagian dari kamma yang harus dijalani. Oleh karena itu, dalam masyarakat dapat dijumpai orang yang mampu, misalnya, membaca garis tangan untuk menyebutkan masa lalu maupun masa depan seseorang. Kemampuan ini disebabkan karena garis tangan juga merupakan salah satu tanda bawaan kamma lampau. Tentu saja, metoda membaca garis tangan yang merupakan salah satu upaya mengetahui kamma seseorang ini bukan berasal dari Ajaran Sang Buddha melainkan bagian dari tradisi suatu masyarakat. Sesungguhnya masih banyak cara yang bisa dipergunakan untuk mengetahui kamma seseorang, namun, satu contoh ini kiranya sudah dapat mewakili jawaban atas pertanyaan ini.

Tanya 12 :

Sekarang tentang meditasi. Apakah ada kemungkinan dan bagaimana melatih Samatha Bhavana sebagai umat biasa?

Jawab :

Dalam kehidupan sebagai umat Buddha, sangat disarankan umat untuk berlatih meditasi secara rutin. Lakukan meditasi setiap pagi bangun tidur dan malam hendak tidur. Lakukan meditasi paling tidak selama 15 menit sampai dengan 30 menit setiap kalinya. Adapun meditasi yang dapat dilakukan, sebagai dasar adalah meditasi konsentrasi yang sering disebut sebagai Samatha Bhavana. Latihan meditasi ini biasanya mempergunakan pengamatan dan perhatian pada proses masuk keluarnya pernafasan yang berlangsung secara alamiah. Jadi, meditasi tidak perlu mengatur pernafasan. Meditasi hanya mengamati dan mengetahui saat nafas masuk dan saat nafas keluar. Jika pikiran memikirkan hal yang lain, maka pelaku meditasi akan terus berusaha untuk mengembalikan konsentrasi pikiran pada pengamatan proses pernafasan kembali. Demikian seterusnya dilakukan sampai pikiran benar-benar terpusat pada obyek meditasi. Apabila seseorang telah mampu memusatkan perhatian pada obyek meditasi, maka ia bisa melanjutkan tingkat latihan meditasi yang telah dicapainya dengan mengembangkan kesadaran pada segala gerak gerik pikiran, perasaan, maupun badan. Artinya, pelaku meditasi menjadikan segala yang terjadi pada badan maupun batin sebagai obyek meditasi. Meditasi mengembangkan kesadaran ini disebut sebagai Vipassana Bhavana.

Kedua latihan meditasi ini hendaknya sering dilatih para umat Buddha agar semakin lama seseorang mengikuti dan melaksanakan Ajaran Sang Buddha, semakin tinggi pula kesadaran yang ia miliki untuk selalu mengamati gerak gerik badan dan batinnya. Kesadaran yang maksimal tentang badan dan batin ini akan menuju pada tercapainya kesucian yaitu Nibbana dalam kehidupan ini juga.

Tanya 13 :

Bagaimana cara menghindari pengaruh roh halus, setan dalam bermeditasi ?

Jawab :

Dalam bermeditasi, pada awalnya seseorang hendaknya selalu berusaha memusatkan perhatian pada obyek konsentrasi, misalnya proses masuk dan keluarnya pernafasan. Dengan demikian, apabila terjadi ‘penampakan’, pelaku meditasi hendaknya tidak menghiraukannya. Ia harus tetap memusatkan perhatian pada obyek meditasi. Dengan mampu memusatkan pikiran pada obyek, maka secara bertahap segala bentuk penampakan dan gangguan akan lenyap dengan sendirinya.

Namun, pelaku meditasi tahap lanjutan boleh mempergunakan kesadaran penuh untuk mengetahui dan mengamati adanya gangguan mahluk halus. Pelaku meditasi hanya mengetahui saja segala penampakan yang ada tanpa harus timbul rasa takut maupun benci. Dengan pengembangan kesadaran yang tinggi, mahluk halus itupun akhirnya akan lenyap dan tidak mengganggu lagi.

Namun, kalau pelaku meditasi masih belum mempunyai konsentrasi maupun kesadaran yang cukup tinggi, maka ia boleh juga mengucapkan berkali-kali dalam batin kalimat ”Semoga semua mahluk berbahagia”. Kalimat ini adalah merupakan kalimat pemancaran pikiran penuh cinta kasih yang merupakan sarana ampuh untuk mengkondisikan agar para mahluk halus itu tidak mengganggu lagi. Dengan demikian, latihan meditasi dapat dilanjutkan dengan pikiran tenang dan damai, bebas dari berbagai ‘penampakan’.

Demikianlah semua pertanyaan sudah terjawab secara singkat.

Semoga uraian Dhamma tentang konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha dan juga jawaban atas berbagai pertanyaan di atas dapat bermanfaat serta menambah keyakinan Anda pada Ajaran Sang Buddha.

Semoga keyakinan Anda akan menjadi pendorong untuk selalu melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercapailah kebahagiaan di dunia, kemudian, kebahagiaan setelah kehidupan ini dan bahkan kebahagiaan Nibbana.

Semoga Anda selalu berbahagia.

Semoga semua mahluk yang tampak maupun mahluk yang tidak tampak akan mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan kamma baik yang mereka miliki sendiri.

Semoga demikianlah adanya.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.

Mengapa begitu banyak tradisi / sekte dalam agama Buddha ?

Sang Buddha membabarkan ajaran-Nya dengan banyak cara karena mahluk hidup
(semua mahluk yang memiliki kesadaran tetapi belum menjadi Buddha, termasuk
juga yang berada di alam-alam kehidupan lain) mempunyai watak, kebiasaan,
dan minat yang berbeda-beda. Beliau tidak pernah mengharapkan kita semua
cocok dengan satu bentuk sehingga ajaran-Nya pun di berikan dalam banyak
cara dan dalam beragam cara melatih diri - dengan demikian tiap orang bisa
menemukan sesuatu yang sesuai dengan tingkat kesadaran dan kepribadiannya.

Dengan keahlian dan belas kasih-Nya dalam menuntun yang lain, Sang Buddha
memutar roda Dhamma sebanyak tiga kali - setiap kali selalu dengan sedikit
perubahan sistem filosofi. Tetapi esensi dari semua ajaran itu sama : tekad
yang teguh untuk keluar dari lingkaran penderitaan yang berulang-ulang
(samasra), belas kasih kepada mahluk lain, dan kebijaksanaan ketanpa-akuan.

Tidak semua orang menyukai menu yang sama. Jika sebuah jamuan besar
terhampar di depan kita, kita kan memilih makanan yang kita senangi. Tidak
ada keharusan untuk menyukai semua makanan. Akan tetapi, meski kita lebih
menyukai makanan yang manis-manis, tidak berarti bahwa yang asin tidak baik
dan mesti di buang! Demikian juga halnya, kita bisa saja memilih suatu
pendekatan khusus dari Ajaran: apakah itu Theravada, Tanah Suci (Sukhavati),
Zen, Vajrayana, dan sebagainya. Kita memiliki kebebasan untuk memilih
pendekatan yang paling sesuai, yang dengannya kita merasa paling nyaman.

Pun begitu, kita harus tetap mempertahankan pikiran yang terbuka dan
menghormati tradisi yang lain. Seiring dengan berkembangnya batin, kita bisa
mengerti unsur-unsur dalam tradisi yang lain yang gagal kita pahami pada
awalna. Singkatnya, apa saja yang berguna dan bermanfaat bagi kita untuk
hidup lebih baik, kita praktekan, tanpa perlu menolaknya.

Sementara itu, jangan menempelkan identitas padanya dengan cara-cara yang
konkret, seperti: “Saya seorang Mahayanis, engkau seorang Theravadin,” atau
” Saya seorang Buddhis, engkau seorang Kristen.” Adalah penting untuk di
ingat di sini bahwa kita semua adalah mahluk hidup yang mencari kebahagiaan
dan ingin menyelami Kebenaran, yang masing-masing menemukan satu metoda yang
sesuai.

Bagaimanapun, mempertahankan pikiran yang terbuka terhadap pendekatan yang
berbeda tidak berarti mencampur-adukan semuanya dengan acak, dan membuat
latihan kita seperti cap-cai. Jangan mencampur teknik-teknik meditasi dari
tradisi yang berbeda dalam satu latihan meditasi. Dalam satu masa latihan,
lebih baik mempraktekkan satu cara saja. Jika kita mengambil sediikt dari
teknik ini dan secuil dari teknik itu, tanpa benar-benar mengerti satu
teknik pun, hasilnya barangkali hanya kebingungan!

Meskipun ajaran dari suatu tradisi bisa memperkaya pengertian dan latihan
dari teknik yang lain, di nasihatkan untuk mempraktekkan hanya satu metoda
dalam latihan sehari-hari. Jika kita melakukan meditasi pernafasan hari ini,
melafalkan Buddha keesokan harinya, meditasi analitis pada hari ketiga, maka
kita tidak akan memperoleh kemajuan dalam satu metoda pun karena tidak
adanya kontinuitas dalam latihan tersebut.


Mettacittena,

Agama Buddha dan Saya

Esensi Ajaran Buddha dan Tradisi-tradisi Buddhis

Ven. Thubten Chodron, Singapore

Thursday, March 5, 2009

Bagaimana Kita Menjawab Pertanyaan Para Penyebar Injil

Oleh: AL. De. Silva


Sebagai bagian dari usaha mereka untuk mempromosikan iman mereka, para penyebar Injil seringkali menanyakan pertanyaan kepada umat Buddha, yang bertujuan untuk membingungkan atau melemahkan umat Buddha. Kita akan melihat kepada beberapa pertanyaan dan komentar-komentar mereka, dan memberikan jawaban-jawaban Buddhis. (Catatan dari penterjemah: Seringkali tujuan orang-orang Kristen untuk membingungkan dan melemahkan umat Buddha berhasil, karena: 1. Orang Buddhis yang mereka pertanyakan bukanlah orang Buddhis yang sering ke Vihara, atau yang banyak belajar tentang Dhamma. 2. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka tanyakan telah mereka persiapkan berikut jawaban dari mereka sendiri yang semua dari pertanyaan itu adalah berdasarkan KONSEP PIKIRAN DAN MENTAL orang-orang Kristen. Sehingga mereka bisa memberikan jawaban, komentar yang bersifat Kristen pula. Itulah yang membuat orang Kristen KELIHATAN mempunyai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan umat Buddha itu. Pernah sekali saya diajak berdiskusi, seorang penyebar Injil Kristen yang taat ke kebaktian agamanya dan pintar akan Alkitab mengatakan bahwa Sang Buddha bagi orang Buddha setingkat dengan Yesus dalam Agama Kristen, dan Maria perawan suci oleh orang Kristen, setingkat dan sama halnya dengan Dewi Kwan Im. Ini adalah pertanyaan yang bodoh dan menggelikan. Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang menyesatkan dan membingungkan. Dengan dalih, Buddha tidak bisa menyelamatkan manusia, tetapi Yesus bisa.)



Kamu Tidak Percaya Kepada Tuhan, Sehingga Kamu Tidak Bisa Menjelaskan Asal Mula Dunia Ini.

Memang benar Kristen mempunyai penjelasan tentang bagaimana semuanya bermula. Tetapi apakah penjelasan itu benar? Marilah kita teliti. Alkitab mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segalanya dalam enam hari dan pada hari ketujuh, Ia beristirahat. Cerita yang aneh ini tidaklah lebih dari sekedar sebuah dongeng, dan tidak lebih benar daripada dongeng Hindu yang mengatakan para dewa menciptakan semuanya dengan mengocok susu yang sebanyak air di laut, atau kepercayaan kuno bahwa alam semesta ini ditetaskan dari sebutir telur kosmos.

Beberapa bagian dari dongeng penciptaan ini adalah tidak masuk akal. Contohnya, dikatakan pada hari pertama Tuhan menciptakan terang dan gelap tetapi pada hari keempat Dia menciptakan matahari (Kejadian 1:15-16). Bagaimana bisa ada siang dan malam tanpa matahari? Dongeng penciptaan ini juga bertentangan dengan ilmu pengetahuan moderen yang telah membuktikan tentang awal alam semesta, dan bagaimana kehidupan berkembang. Tidak ada bagian di ilmu perbintangan atau biologi di perguruan tinggi manapun di dunia ini yang mengajarkan dongeng penciptaan dengan alasan sederhana, bahwa dongeng tersebut tidak berdasarkan kenyataan. Maka, memang benar Kristen mempunyai penjelasan tentang awal mula sesuatu (seperti halnya kebanyakan agama juga punya penjelasan sendiri), tetapi penjelasan itu hanyalah dongeng belaka. Lalu apa yang Buddhisme katakan tentang awal mula segala sesuatu? Buddhisme mengatakan hal yang sedikit sekali tentang hal ini dan dengan alasan yang sangat masuk akal. Tujuan dari Buddhisme adalah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan belas kasihan sehingga bisa mencapai Nibbana. Mengetahui asal mula dunia tidak membantu kita mengembangkan cinta kasih dan kebijaksanaan untuk mencapai Nibbana.

Pernah sekali seorang meminta Sang Buddha untuk memberitahu dia bagaimana alam semesta ini bermula. Sang Buddha mengatakan kepadanya "Kamu seperti orang yang baru saja di panah dengan anak panah beracun, dan ketika dokter datang untuk mencabut anak panah tersebut, kamu mengatakan 'Tunggu! Sebelum anak panah ini dicabut saya mau tau nama orang yang memanah anak panah ini, dari suku/keluarga mana dia berasal, dari kampung mana dia dilahirkan. Saya ingin mengetahui dari jenis kayu apa busurnya terbuat, bulu apa yang digunakan di ujung anak panah ini, seberapa panjang anak panah ini, dan lain-lain, dan lain-lain.' Orang itu akan mati sebelum semua pertanyaan itu bisa terjawab. Tugas saya adalah untuk membantu kamu untuk mencabut anak panah penderitaan dari dirimu sendiri." (Majjhima Nikaya Sutta No.63)

Buddhisme mengkonsentrasikan kepada membantu kita semua memecahkan masalah-masalah hidup - sehingga tidak mendukung tebakan-tebakan yang tidak berguna. Dan jika seorang umat Buddhis ingin mengetahui bagaimana dan awal mula alam semesta, ia akan menanyakan pertanyaan ini kepada seorang ilmuwan.



Agama Buddha Tidak Bisa Diterapkan Karena Dikatakan Kamu Tidak Bisa Membunuh Seekor Semut Sekalipun

Sebelum kita membela ajaran Sang Buddha terhadap vonis tentang ajaran yang tidak bisa diterapkan, marilah kita melihat apakah ajaran Kristen bisa diterapkan. Menurut Yesus, jika seseorang menampar kita di salah satu pipi kita, kita hendaknya memberikan pipi yang lain untuk ditampar juga. (Matius 5:25). Kalau kita menemukan seseorang telah mencuri celana kita, kita harus pergi keluar dan memberikan maling itu pakaian kita juga (Matius 5:30). Jika kita tidak bisa menahan diri dari mencuri, kita harus memotong tangan kita sendiri (Matius 5:30). Kita bisa mengatakan semua ajaran yang tercantum di ayat-ayat di atas tidak bisa diterapkan, meskipun orang Kristen akan lebih suka menyebutnya sebagai tantangan daripada tidak bisa diterapkan. Dan tentunya mereka benar. Untuk bisa memberikan pipi yang lain utuk ditampar sekali lagi tidaklah mudah. Hal ini memerlukan kita untuk mengendalikan amarah kita dan dengan melakukan hal ini bisa menolong untuk mengembangan kesabaran, kerendahan hati, tidak membalas, dan cinta kasih. Kalau kita tidak tertantang kita tidak akan maju.

Sang Buddha meminta kita untuk menghormati semua mahluk, bahkan mahluk-mahluk yang rendah. Mengenai memberikan pipi yang lain, ini tidaklah selalu mudah. Seperti bagi banyak orang, mahluk-mahluk seperti semut bisa sangat mengganggu dan tidak menyenangkan. Ketika kita bertekad untuk tidak membunuh dan berusaha untuk menjalankan tekad itu, kita tertantang untuk menimbulkan kesabaran, kerendahan hati, cinta kasih dan sebagainya. Jadi dengan meminta kita menghormati semua jenis kehidupan, ajaran Buddhis dan ajaran Kristen sama saja sulit untuk diterapkan.



Sang Buddha Telah Mati, Maka Dia Tidak Bisa Menolong Dirimu

Umat Buddhis terkadang mengalami kesulitan untuk menjawab secara benar ketika orang Kristen mengatakan hal ini. Akan tetapi kalau kita mengetahui Dhamma dengan baik, akan dengan sangat mudah kita bisa menyangkal pernyataan seperti itu. Karena pernyataan seperti itu dan juga pernyataan-pernyataan yang sering orang Kristen ucapkan tentang agama Buddha adalah berdasarkan kesalahpahaman.

Pertama-tama, Sang Buddha tidaklah mati. Beliau telah mencapai Nibbana, sebuah keadaan yang bebas dan damai sama sekali. Nama lain yang diberikan Sang Buddha kepada Nibbana adalah Keadaan Yang Tidak Mati (Amita) karena setelah seorang mencapai Nibbana, orang itu tidak akan terlahir lagi, dengan tidak terlahir, maka ia juga tidak mati. Tentu saja Nibbana bukanlah "kehidupan abadi" yang naif seperti yang digambarkan di Alkitab, di mana badan dibangkitkan dan malaikat bernyanyi. Kenyataannya, Nibbana itu sangat halus sehingga tidak mudah untuk dijelaskan. Akan tetapi Nibbana bukanlah ketidakadaan, seperti yang telah Sang Buddha jelaskan. (Majjhima Nikaya Sutta No72; Sutta Nipata, Verse 1076)

Dan juga sama tidak benarnya untuk mengatakan bahwa Buddha tidak bisa menolong kita. Selama empat puluh tahun, Sang Buddha menjelaskan dengan sangat mendetil dan dengan kejelasan yang mengagumkan, semua yang kita perlukan untuk mencapai Nibbana. Semua yang kita perlukan untuk lakukan adalah untuk mengikuti petunjuk-petunjuk beliau. Kata-kata Beliau sangatlah membantu dan berlaku di jaman sekarnag, seperti halnya sangatlah membantu dan berlaku di saat pertama kali diajarkan 2500 tahun yang lalu. Tentu saja Buddha tidak membantu kita dengan cara yang diambil Yesus menurut orang Kristen. Dan Buddha tidak membantu demikian dengan alasan yang sangat baik. Jika seorang murid tau bahwa sewaktu ujian dia bisa menanyakan jawaban atas pertanyaan ujian kepada gurunya, dia tidak akan belajar, sehingga dia tidak akan pernah bisa tau dan berusaha sendiri. Jika seorang olahragawan tahu bahwa hanya dengan meminta juri untuk memberi dia kemenangan, dia tidak akan peduli untuk melatih tubuh dan memajukan prestasinya. Sekedar memberi apa yang orang minta tidaklah menolong mereka dengan benar. Bahkan kenyataannya, hal itu hanya akan memastikan bahwa orang yang meminta itu akan tetap lemah, penuh ketergantungan dan malas.

Sang Buddha memberi petunjuk menuju Nibbana dan mengajarkan kita bekal-bekal apa yang kita perlukan untuk perjalanan menuju Nibbana. Seiring dengan perjalanan itu, kita akan belajar dari pengalaman-pengalaman kita dan dari kesalahan-kesalahan kita, meningkatkan kekuatan, kedewasaan dan kebijaksanaan. Hasilnya ketika kita selesai menempuh perjalanan ini, kita akan menjadi orang-orang yang berbeda sama sekali dibandingkan dengan kita sewaktu memulai perjalanan. Berkat bantuan Sang Buddha yang cermat kita akan mencapai Kesunyataan.

Maka untuk mengatakan bahwa Sang Buddha telah mati dan tidak bisa menolong kita tidak hanya salah, tetapi juga secara tidak langsung mengatakan bahwa Yesus itu hidup dan bisa menolong dirimu. Marilah kita lihat kepada pendapat ini. Orang-orang Kristen menyatakan bahwa Yesus itu hidup, tetapi bukti apa yang ada tentang hal ini? Mereka akan mengatakan bahwa Alkitab membuktikan Yesus bangkita di antara orang-orang mati. Sungguh sial, pernyataan-pernyataan yang ditulis oleh beberapa orang beberapa ribu tahun yang lalu tidaklah membuktikan apa-apa. Sebuah pernyataan di Mahabharata (salah satu Kitab Suci orang Hindu) mengatakan bahwa seorang suci mempunyai kendaraan yang bisa terbang. Tetapi apakah ini membuktikan bahwa orang India kuno menemukan pesawat terbang? Tentu saja tidak. Tulisan-tulisan kuno Mesir mengatakan bahwa Dewa Khnum menciptakan segalanya dari tanah yang dia bentuk dari roda pembuat kendi. Apakah ini membuktikan bahwa semua yang ada itu adalah tanah? Tentu saja tidak. Sebuah ayat di dalam Perjanjian Lama mengatakan seorang bernama Balaam mempunyai keledai yang bisa berbicara. Apakah ayat itu membuktikan bahwa semua binatang bisa berbicara? Tentu saja tidak.

Kita tidak bisa secara tidak menanyakan secara kritis, menerima klaim yang dibuat oleh Alkitab ataupun kitab suci lain bulat-bulat. Ketika kita meneliti klaim-klaim tentang kebangkitan Yesus, kita telah menemukan alasan yang sangat baik untuk tidak percaya kepada klaim-klaim tersebut. Bahkan, Alkitab sendiri membuktikan bahwa Yesus tidaklah hidup. Sebelum Yesus disalibkan, Yesus memberitahu murid-muridnya bahwa dia akan kembali sebelum yang terakhir dari mereka mati. (Matius 10:23, 16:28, Lukas 21:32). Hal itu diucapkan 2000 tahun yang lalu. Yesus masih belum kembali. Mengapa? Tentunya karena dia sudah mati.

Pendapat kedua bahwa Yesus selalu menjawab ketika kamu berdoa kepadanya. Sangatlah mudah untuk membuktikan bahwa ini tidak benar. Orang-orang Kristen meninggal karena penyakit, ketidakberuntungan, mempunyai masalah-masalah emosi, menyerah ke dalam godaan, dll seperti halnya orang yang tidak beragama Kristen. Padahal orang Kristen memohon pertolongan dari Yesus lewat doa-doa mereka. Saya mempunyai seorang teman yang Kristen yang beriman untuk selama bertahun-tahun. Secara bertahap dia mulai ragu dan meminta bantuan dari pendeta. Sang pendeta memberi petunjuk kepadanya untuk berdoa, dan bahkan meminta anggota gereja untuk berdoa bagi teman ini. Akan tetapi, meskipun semua doa ke Yesus untuk kekuatan dan petunjuk, keraguan teman saya ini semakin bertambah, dan akhirnya meninggalkan gereja. Kemudian dia menjadi umat Buddha. Jika Yesus benar-benar hidup dan siap membantu, mengapa orang-orang Kristen mempunyai problem yang sama banyaknya dengan orang-orang non-Kristen? Mengapa Yesus tidak menjawab doa-doa teman saya dan membantunya untuk tetap menjadi orang Kristen? Tentunya karena Yesus telah mati dan tidak bisa membantu.

Dalam menjawab sangkalan ini, orang-orang Kristen akan mengatakan bahwa ada orang-orang yang bisa bersaksi bahwa doa-doa mereka telah dijawab (terkabulkan). Kalau benar demikian, orang-orang yang beriman kepada Islam, Hindu, Seikh, Tao, Shinto, Kuan Im juga bisa memberikan kesaksian yang sama.



Tidak Seperti Kristiani, Buddhisme Menganut Paham Yang Pesimis

Menurut kamus Webster, pesimisme adalah "kepercayaan bahwa kejahatan di dalam hidup ini melebihi kebaikan" - "the belief that evil in life outweighs the good". Adalah hal yang menarik bahwa orang-orang Kristen menuduh umat-umat Buddha pesimis karena justru pendapat bahwa kejahatan melebihi kebaikan adalah ajaran pusat agama Kristen, bukan ajaran pokok Buddha. Dua ayat Alkitab yang orang Kristen fanatik yang paling suka kutip adalah "Seperti ada tertulis: Tidak ada yang benar, seorangpun tidak."(Roma 3:10) dan "Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat baik dan tidak pernah berbuat jahat." (Pengkhotbah 7:20). Ajaran tentang Dosa Asal mengajarkan bahwa semua manusia adalah pembuat dosa, tidak bisa melepaskan dirinya sendiri dari dosa, dan kejahatan di dalam diri kita lebih kuat daripada kebaikan (Roma 7:14-24). Orang-orang Kristen akan mengatakan memang benar demikian, kita bisa terbebas dari dosa jika kita menerima Yesus. Mungkin kita bisa terbebas kalau menerima Yesus, tetapi kenyataan mengatakan bahwa orang-orang Kristen membutuhkan Yesus karena pandangan orang Kristen tentang watak dasar manusia yang pesimis sama sekali.

Ajaran Sang Buddha, di sisi yang lain, mempunyai pandangan sangat berbeda dan lebih nyata tentang watak dasar manusia. Sementara menyadari bahwa manusia bisa berbuat jahat, Buddhisme mengajarkan kita untuk menaklukkan kejahatan dan melakukan kebaikan melalui usaha kita sendiri. (Catatan dari penterjemah: Pesimis juga sering diartikan orang tidak mau berusaha karena tau bahwa apapun yang diusahakan akan gagal. Apakah ajaran Sang Buddha pesimis? Justru Sang Buddha mendukung kita berusaha karena kita bisa melepaskan diri dari penderitaan, karena ajaran Sang Buddha yang diusahakan dan dijalankan akan berhasil. Karena penderitaan itu BISA ditaklukkan, itu adalah pandangan yang SANGAT OPTIMIS. Jadi pendapat orang Kristen bahwa ajaran Sang Buddha pesimis adalah omong kosong yang bodoh.)

“Abaikan yang salah. Pengabaian itu bisa dilakukan. Kalau pengabaian ini mustahil, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini bisa dilaksanakan, Saya katakan kepadamu: "Abaikan yang salah". Kalau mengabaikan yang salah membawa kerugian dan kesedihan, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini menghasilkan manfaat dan kebahagiaan, Saya dukung kamu: "Abaikan yang salah". Tanamkanlah kebaikan. Menanam kebaikan bisa dilakukan. Kalau hal ini tidak bisa dilakukan, Saya tidak akan mendukung kam untuk melakukannya. Tetapi berhubung hal ini bisa dilakukan, Saya katakan kepadamu:"Tanamkanlah kebaikan." Kalau menanam kebaikan membawa kerugian dan kesedihan, Saya tidak akan mendukung kamu untuk melakukannya. Tetapi berhubung menanam kebaikan menghasilkan maanfaat dan kebahagiaan, Saya dukung kamu:" Tanamkanlah kebaikan." “(Anguttara Nikaya, Book of Twos, Sutta No.9)

Entah seorang setuju atau tidak terhadap ajaran Sang Buddha, tentunya orang itu tidak akan mengatakan ajaran Sang Buddha itu pesimistis.



Yesus Mengajarkan Kita Untuk Mengasihi Tetapi Buddhisme Mengajarkan Kita Untuk Menjadi Dingin Dan Tak Berperasaan

Ini tidaklah benar. Sang Buddha berkata kita hendaknya mengembangkan cinta kasih yang hangat dan penuh perhatian kepada semua manusia (Catatan dari penterjemah: Dan semua makhluk)

Seperti ibu yang bersedia melindungi anak satu-satunya meskipun dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri, demikian juga seseorang hendaknya menghasilkan cinta kasih tak bersyarat kepada semua mahluk. (Sutta Nipata Verse 150)

Dalam semua segi, cinta kasih itu sama pentingnya dan ditekankan bagi ajaran agama Buddha dan Kristiani. Akan tetapi ada sesuatu yang merusak praktek cinta kasih orang-orang Kristen. Desakan mereka yang keras suaranya mengatakan bahwa hanya merekalah yang mempunyai cinta kasih, dan kualitas dari cinta kasih mereka jauh lebih unggul daripada cinta kasih lain, dan penghinaan juga ejekan mereka yang terus menerus kepada usaha orang lain untuk melaksanakan cinta kasih membuat mereka terlihat berbeda sama sekali dari yang lain. Begitu picik dan cemburunya beberapa orang Kristen sampai mereka tidak bisa memuji atau menghargai kualitas cinta kasih yang sama indahnya, kecuali ada tulisan "Buatan Yesus" tertempel di atasnya.



Kamu Mengklaim Bahwa Setelah Meninggal, Kita Akan Dilahirkan Kembali, Tetapi Tidak Ada Bukti Nyata Adanya Kelahiran Kembali.

(Catatan dari penterjemah: Kelahiran kembali atau reinkarnasi adalah salah satu topik yang cukup luas dan perlu diterangkan secara terperinci. Untuk itu, para pembaca disarankan untuk mencari buku-buku Buddhis secara umum, yang mana terdapat satu bab khusus tentang "kelahiran kembali" atau "reinkarnasi" atau "tumimbal lahir". Buku-bukut tersebut tersedia secara gratis kalau Anda pergi ke Vihara ataupun ke perpustakaan umum. Alasan mengapa muncul pernyataan seperti yang tertera di atas, karena sekali lagi orang Kristen telah menggunakan logika, mental, dan pengetahuan Kristiani mereka dalam mempertanyakan sesuatu. Satu hal yang pasti: Alam sesudah kematian yang berakibatkan tumimbal lahir telah mempunyai dasar kuat untuk dijadikan bukti. Surga orang Kristen di lain pihak, sampai sekarang belum terbukti ada.)

Sebelum kita memberi jawaban, marilah kita membandingkan teori-teori sesudah kematian dari agama Kristen dan Buddha. Menurut Kristiani, Tuhan menciptakan sebuah jiwa (roh) baru yang

menjadi manusia yang hidup lalu mati. Setelah kematian, jiwa itu (roh) itu akan pergi ke surga abadi kalau percaya kepada Yesus, atau ke neraka abadi kalau ia tidak percaya kepada Yesus. Menurut Buddhisme, adalah tidak mungkin untuk megira-ngira awal mutlak atas keberadaan sesuatu. Setiap mahluk hidup, mati dan dilahirkan kembali ke dalam keberadaan baru. Proses mati dan dilahirkan kembali ini adalah suatu proses yang alamai dan dapat berlangsung selamanya kecuali ia mencapai Nibbana. Ketika satu mahluk mencapai Nibbana, pengertian mereka dan secara pasti juga kelakuan mereka berubah. Kelakuan yang berubah inilah yang juga merubah proses yang menyebabkan kelahiran kembali.

Jadi bukan dilahirkan kembali, melainkan menjadi keberadaan baru yang mencapai Nibbana. Nibbana bukanlah keberadaan (untuk menjadi ada (dalam arti mahluk) berarti mempunyai reaksi terhadap indera, untuk tumbuh, membusuk, untuk berpindah dalam waktu dan ruang, untuk dilahirkan kembali menjadi mahluk baru, dll). Nibbana juga bukanlah ketidakberadaan, dalam arti Nibbana bukanlah penghancuran. Dalam kata lain, keberadaan suatu mahluk itu tidak ada awalnya dan tidak ada akhirnya kecuali Nibbana dicapai. Mencapai Nibbana adalah satu-satunya alasan untuk hidup. (Catatan dari penterjemah: Para pembaca mungkin kurang bisa menyerap arti yang tertulis di atas. Yang dimaksudkan adalah: Nibbana bukanlah kekosongan atau kehancuran dari yang hidup, tetapi bukan juga keberadaan atau tempat kehidupan (dalam arti hidup, karena untuk hidup berarti untuk mempunyai unsur Lima Kandha seperti yang dijelaskan sebelumnya).)

Ada bukti yang sedikit sekali tentang kedua teori ini. Tetapi, ada beberapa masalah logika dan moral terhadap teori orang Kristen, yang mana teori Buddhis tidak punya masalah tersebut sehingga teori Buddhis lebih bisa diterima. Kristiani melihat keberadaan (existence) itu sebagai sesuatu yang memiliki awal tapi tidak memiliki akhir, sedangkan Buddhisme melihat keberadaan ini sebagai suatu siklus perputaran. Tidak ada satu contohpun di alam yang mempunyai awal tapi tidak mempunyai akhir. Malahan, semua proses alam yang kita perhatikan mempunyai siklus perputaran. Musim-musim datang dan pergi dari tahun ke tahun. Hujan turun, air hujan mengalir ke laut, menguap, membentuk awan dan turun lagi menjadi hujan. Tubuh kita mencerna unsur-unsur dalam bentuk makanan; ketika kita meninggal, tubuh akan membusuk dan melepaskan unsur-unsur itu ke dalam tanah, yang kemudian diisap lagi oleh tanaman dan binatang yang kembali akan di makan. Planet-planet mengelilingi matahari, dan bahkan galaksi tempat tata surya kita berada juga berputar secara perlahan-lahan. Teori umat Buddha tentang kelahiran kembali sangatlah sejalan dengan proses siklus perputaran alam, sedangkan teori Kristiani tidak sejalan dengan proses siklus perputaran alam.

Orang-orang Kristen mengatakan bahwa Tuhan menciptakan kita dengan satu tujuan - supaya kita percaya kepadaNya dan terselamatkan. Kalau benar demikian, akan sangat sulit untuk menjelaskan mengapa tiap tahun jutaan janin tergugurkan, jutaan bayi dilahirkan mati atau meninggal dalam dua tahun pertama kehidupan mereka. Lebih jauh lagi, jutaan orang dilahirkan dan hidup dalam kehidupan dengan kerusakan mental yang parah, tidak bisa berpikir secara normal. Bagaimana semua yang dijelaskan di atas itu bisa masuk ke dalam rencana Tuhan? Tujuan apa yang dimiliki Tuhan dalam menciptakan kehidupan dan membiarkan mereka mati bahkan sebelum dilahirkan atau hidup sementara? Apa yang terjadi dengan orang-orang itu? Apakah mereka pergi ke surga atau ke neraka? Kalau Tuhan benar-benar menciptakan kita dengan rencana dibenakNya, rencana itu tentunya tidaklah jelas. Dan juga kebanyakan dari penduduk dunia bukanlah orang Kristen, dan seperti yang kita ketahui bahkan tidak semua orang Kristen itu diselamatkan. Ini berarti jumlah ciptaan Tuhan yang akan dibuang masuk ke neraka akan jauh lebih banyak. Rencana Tuhan untuk menyelamatkan semua manusia ciptaannya telah berjalan dengan sangat tidak benar. Sehingga meskipun kita tidak bisa membuktikan kedua teori dari kedua agama, ajaran Buddhis ternyata lebih menarik dan masuk akal. (Catatan dari penterjemah: Kebanyakan dari orang-orang Kristen bisa dengan lantang mengatakan bahwa HANYA dengan percaya, mereka bisa terselamatkan. Itu karena kebanyakan dari mereka hidup dan serba berkecukupan. Apa yang bisa dijelaskan orang Kristen tentang janin-janin yang gugur itu? Apa yang bisa dijelaskan orang Kristen tentang orang yang tidak bisa percaya karena mentalnya yang rusak dari lahir? Adilkah Tuhan? Orang belum bisa dan atau sempat percaya saja sudah dimatikan. Tentunya sangat tidak adil! Mungkin adil bagi orang Kristen yang hidup enak dan berkecukupan, karena mereka belum pernah merasakan ketidakadilan itu, atau sedikit dari mereka yang merasakan ketidakadilan itu. Karena mereka bukanlah janin-janin yang mati itu. Karena mereka bukanlah orang yang cacat mental. Meskipun KALAU Tuhan orang Kristen itu ada, tentunya Tuhan mereka tidaklah Maha segalanya seperti yang mereka teriakkan secara lantang!) (Catatan dari penterjemah: Untuk mengingatkan kembali Kejadian 6:6-7, TUHAN Allah menyesal atas ciptaan-Nya. Ini membuktikan 2 hal: Pertama, Tuhan tidaklah sempurna karena tidak bisa menciptakan kesempurnaan. Kedua, Tuhan tidaklah sempurna karena bisa merasakan penyesalan.)



Kalau Benar Kita Dilahirkan Kembali, Bagaimana Kamu Menjelaskan Meningkatnya Jumlah Penduduk Dunia?

Ketika semua mahluk mati, tidaklah harus untuk terlahir lagi menjadi mahluk yang sama. Misalnya, seorang manusia bisa saja terlahir sebagai seekor binatang, atau mungkin terlahir sebagai mahluk dewa, tergantung karmanya sendiri. Kenyataan bahwa adanya peningkatan jumlah manusia di dunia mengartikan bahwa lebih banyak binatang mati yang terlahir menjadi manusia. (Telah terdapat hubungan yang erat dengan menurunnya jumlah binatang di dunia karena kepunahan dan sebab kematian lain seperti dikonsumsi manusia, dll) dan juga banyak manusia yang dilahrikan kembali menjadi manusia. Mengapa demikian? Mengapa banyak binatang yang terlahir menjadi manusia memang sulit untuk dijelaskan. (Catatan dari penterjemah: Tentunya dalam kehidupan sebelum menjadi binatang, mereka pernah berbuat karma yang sangat baik sehingga karma baik itu berbuah dan mereka terlahir menjadi manusia.)

Tetapi ada penjelasan mengapa semakin banyak manusia yang terlahir kembali menjadi manusia. Itu disebabkan oleh semakin menyebarnya pengetahuan akan ajaran-ajaran Sang Buddha. Bahkan di tempat di mana Dhamma tidaklah dikenal secara umum, kebaikan tetap saja ada dan diperbuat. Semua ini adalah penyebab meningkatnya jumlah penduduk dunia. (Catatan dari penterjemah: Perlu diingat oleh para pembaca, meskipun Dhamma tidak dikenal, Dhamma itu juga terlaksana. Mengapa? Karena Dhamma hanyalah sebuat merek atau nama yang kita berikan kepada ajaran-ajaran Buddha. Dan ajaran-ajaran Sang Buddha itu adalah berintikan kebaikan yang universal.)

Nibbana adalah tujuan yang tidak bisa terlaksana karena membutuhkan waktu yang lama untuk mencapainya. Meskipun ada bisa mencapainya, jumlahnya sangatlah sedikit.

Memang benar dalam mencapai Nibbana diperlukan waktu yang sangat lama, tetapi di sisi yang lain, kelahiran kembali memberikan kita banyak peluang dan waktu untuk mencapai Nibbana. Kalau seseorang tidak melakukannya di dalam kehidupan ini, dia bisa terus berusaha di kehidupan berikutnya. Sebenarnya, panjangnya waktu yang diperlukan itu adalah sepanjang yang diinginkan oleh orang itu. Sang Buddha berkata bahwa bila seseorang benar-benar ingin mencapai Nibbana, orang itu bisa mencapai Nibbana dalam waktu tujuh hari (Majjhima Nikaya, Sutta No.10). "The Buddha says that if one really wants, one can attain Nirvana within seven days" - Majjhima Nikaya Sutta No.10.


Kalau Benar Demikian, Orang Kristen Akan Menanyakan, Mengapa Tidak Semua Orang Buddha Mencapai Nibbana?

Dengan Sangat Mudah dijawab kejadian-kejadian duniawi (Catatan dari penterjemah: tali percintaan, kesedihan, kemarahan, kenikmatan akan indera seperti kenikamatan mata, sentuhan,perasaan - semuanya dari itu juga dialami oleh semua manusia) masih sangatlah menarik bagi banyak umat Buddha. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan pengertian yang mendalam, ketertarikan itu akan secara bertahap berkurang dan hilang, sehingga langkah demi langkah, menurut cepatnya langkah masing-masing (Catatan dari penterjemah: jumlah karma baik dan karma buruk), menuju Nibbana.

Tentang pernyataan bahwa hanya sedikit yang bisa mencapai Nibbana, ini tidaklah benar. Sementara di dalam Kristiani, seorang hanya mempunyai satu kesempatan untuk diselamatkan, ajaran Sang Buddha menjelaskan bahwa dengan kelahiran kembali, seorang mempunyai kesempatan yang tak terbatas banyaknya untuk mencapai Nibbana. Ini juga mengartikan bahwa semuanya akan terbebaskan secara perlahan-lahan. Seperti yang Kitab Buddhis katakan:

“Keadaan tidak mati ini telah dicapai oleh banyak, dan akan tetap bisa dicapai hari ini oleh siapapun juga yang berusaha. Tetapi tidak akan dicapai bagi mereka yang tidak berusaha.” (Therigatha, verse 513)

Dalam Kristiani, sejarah mempunyai arti penting, dan sejarah itu bergerak menuju satu tujuan. Sedangkan paham Buddhisme tentang siklus perputaran hidup mengartikan bahwa sejarah tidak ada artinya dan paham inilah yang membuat umat Buddhis dianggap pesimis dan tidak berbeda satu sama lainnya.

Memang benar bahwa menurut sejarah Buddhisme, sejarah tidaklah bergerak menuju suatu tujuan. Tetapi siapapun yang menjalankan Delapan Jalan Kebenaran tentunya akan menuju ke satu tujuan. Ia akan secara pasti bergerak menuju kedamaian dan kebebasan dalam Nibbana.

Seperti air sungai Gangga yang mengalir, meluncur, mengarah ke timur, demikian juga barang siapa yang melakukan dan berbuat banyak di dalam Delapan Jalan Kebenaran, mengalir, meluncur mengarah ke Nibbana. (Samyutta Nikaya, Great Chapter, Sutta No.67)

Jadi memang benar untuk mengatakan bahwa Buddhisme lebih nyata akan pandangannya tentang keberadaan, juga bahwa sejarah tidaklah menuju ke satu tujuan. Dan apa puncak sejarah yang dihadapi oleh orang Kristen? Kiamat, di mana manusia dalam jumlah yang banyak dan semua hasil karya manusia akan dihancurkan oleh hujan belerang dan api. Bahkan segelintir orang yang terselamatkan dari kiamat akan menghadapi keabadian yang suram di surga, menyadari bahwa setidaknya seorang dari anggota keluarga dan teman mereka, yang pada saat yang sama (abadi), dihukum di neraka. Akan sangatlah sulit untuk membayangkan masa depan yang lebih mengerikan daripada yang satu ini.

Sang Buddha menyontek ide karma dan kelahiran kembali dari agama Hindu Hindu memang mengajarkan tentang karma dan reinkarnasi (kelahiran kembali). Tetapi versi-versi mereka tentang kedua topik ajaran ini adalah sangat berbeda dari versi agama Buddha. Contohnya, ajaran Hindu mengatakan bahwa kita ditentukan oleh karma kita sedangkan agama Buddha menjelaskan bahwa karma hanyalah syarat bagi kita. Menurut ajaran Hindu, sebuah roh abadi (atman) berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain sedangkan ajaran agama Buddha tidak mengakui adanya roh (anatman), melainkan aliran energi mental yang terus menerus berubah yang terlahirkan kembali. Contoh di atas hanyalah dua dari banyak perbedaan antara ajaran Hindu dan ajaran Buddha tentang karma dan kelahiran kembali.

Akan tetapi, meskipun jikalau ajaran agama Buddha dan Hindu itu sama, ini tidak berarti bahwa Buddha telah dengan sembarangan menyontek ide dari agama lain. Terkadang memang terjadi bahwa dua orang, yang saling terpisah dan tidak berhubungan, menemukan penemuan yang sama. Satu contoh yang baik adalah tentang ditemukannya teori evolusi manusia. Di tahun 1858, persis sebelum Charles Darwin menerbitkan bukunya "The Origin of the Species", secara kebetulan ada orang lain yang bernama Russell Wallace, juga telah menyusun ide evolusi yang persis sama dengan yang disusun oleh Charles Darwin. Darwin dan Wallace tidak saling menyontek; melainkan dengan mempelajari kenyataan alam yang ada, mereka menyusun kesimpulan yang sama secara sendiri-sendiri.

Maka, jika ide-ide Hindu tentang karma dan kelahiran kembali tampaknya sama persis dengan ide-ide Buddhis tentang karma dan kelahiran kembali (tetapi ide-ide kedua agama tentang topik tersebut berbeda), tetap saja tidak terbukti bahwa Sang Buddha menyontek. Kenyataannya adalah orang-orang suci Hindu mendapatkan ide-ide yang samar-samar tentang karma dan kelahiran kembali melalui pengetahuan yang mereka kembangkan lewat meditasi. Yang kemudian diajarkan oleh Sang Buddha (Catatan dari penterjemah: yang telah mencapai Penerangan Sempurna lewat meditasi) dengan lebih lengkap dan tepat.



Yesus Mengampuni Dosa-Dosa Kita, Tetapi Buddhisme Mengatakan Bahwa Kamu Tidak Akan Pernah Bisa Melarikan Diri Dari Akibat-Akibat Karmamu Sendiri

Tidaklah seluruhnya benar bahwa Yesus itu mengampuni dosa-dosa kita. Menurut ajaran Kristiani, setelah manusia diciptakan, mereka akan hidup selamanya - pertama, untuk beberapa puluh tahun di dunia dan kemudian hidup selamanya di surga atau neraka. Yesus akan mengampuni dosa-dosa orang ketika mereka hidup di dunia ini, tetapi menolak untuk mengampuni mereka yang telah dihukum di neraka, tidak peduli berapa kali mereka memohon dan bertobat. Sehingga pengampunan Yesus itu hanya terbatas dalam waktu hidup sementara di dunia, dan kemudian tidak mau memaafkan lagi kalau orang itu masuk neraka. Maka kebanyakan orang tidak akan pernah bisa melarikan diri dari akibat dosa mereka.

Dapatkah umat Buddhis melarikan diri dari karma mereka sendiri? Ajaran tentang karma mengajarkan bahwa setiap kelakuan (kamma) mempunyai akibat (vipaka). Tetapi akibatnya tidaklah selalu sama dengan penyebabnya. Contohnya, jika seorang mencuri sesuatu, kelakuan ini akan membawa akibat buruk. Tetapi jika setelah mencuri orang tersebut menyesal, mengembalikan barang yang dicuri, dan dengan tulus berjanji akan berusaha lebih berhati-hati di masa yang akan datang, akibat buruk itu akan tetap ada tetapi sudah tidak sekuat akibatnya kalau dia tidak menyesal.

Tetapi walaupun si pencuri itu tidak mengakui kesalahannya, tetapi melakukan kebaikan yang lain, dia akan terbebas dari kesalahan itu setelah karmanya berbuah. Jadi menurut ajaran agama Buddha, kita bisa terbebas dari karma kita dengan membayar karma tersebut, sedangkan menurut ajaran Kristiani, dosa-dosa kita hanya akan dimaafkan dalam jangka waktu yang begitu pendek. (Catatan dari penterjemah: Satu contoh logika yang menggambarkan adilnya karma adalah contoh tentang sesendok garam. Jika sesendok garam dimasukkan ke dalam mulut, rasa asinya tentu saja sangat luar biasa. Tetapi jika sesendok garam itu dimasukkan ke dalam segelas air, rasa asin itu akan berkurang. Dan kalau sesendok garam itu dimasukkan ke dalam segentong air, garam itu tetap tidak akan berkurang dalam jumlah, tetapi karena jumlah airnya yang banyak rasa asin itu akan jauh berkurang. Demikianlah juga dengan karma kita. Kalau kita berbuat buruk dan tidak menyesali ataupun memperbaikinya, karma buruk itu akan berbuat setimpal seperti sesendok garam yang dimasukkan ke dalam mulut. Tetapi jika perbuatan buruk itu disesali dan kemudian banyak berbuat baik (menambah banyak air ke dalam gentong yang berisi sesendok garam), akibat yang berbuah juga akan menjadi ringan.)

Ada banyak segi yang mana ajaran Karma lebih baik daripada pendapat orang Kristen tentang pengampunan dosa dan penghukuman. Di dalam Buddhisme, ketika seseorang mungkin harus menerima akibat-akibat buruk dari karma jahatnya yang telah dia perbuat (yang tentu saja adil), ini juga berarti bahwa orang tersebut juga pasti menerima akibat-akibat baik dari karma baik yang pernah dibuatnya.

Tetapi tidak demikian halnya dengan ajaran Kristen. Contohnya, seorang yang bukan beragama Kristen yang jujur, penuh kesabaran, murah hati, dan baik hati, tetapi meskipun baik, setelah meninggal orang ini akan masuk ke neraka abadi dan tidak menerima imbalan atas segala kebaikannya yang pernah dia perbuat.

Lebih jauh lagi, menurut ajaran tentang karma, akibat-akibat yang kita terima dan rasakan, adalah dalam proporsi yang setimpal hasil dari sebabnya - kalau tidak ada faktor lain. (Catatan dari penterjemah: Contoh sesendok garam itu adalah contoh yang baik untuk kita renungkan kembali. Kalau tidak ada faktor perbuatan baik yang kita kumpulkan (menuangkan air), rasa asin sesendok garam itu haruslah dirasakan sepenuhnya. Itulah yang diartikan di paragraf ini).

Tetapi tidak demikian halnya di dalam ajaran Kristen. Meskipun seseorang telah berbuat sangat banyak kejahatan dalam hidupnya, hukuman neraka abadi adalah hukuman yang tidak proporsional sama sekali. Bagaimana jauh lebih tidak proporsionalnya hukuman yang sama (neraka abadi) dijatuhkan kepada orang berbudi baik yang bukan Kristen? Tentunya keabadian di neraka, dan pendapat yang dihujat oleh orang-orang yang bukan Kristen, berasal dari ajaran yang menampilkan keraguan yang serius terhadap Tuhan yang Maha Adil dan Maha Pengasih dan Penyayang. Kristiani telah menyebar luas ke hampir setiap negara di dunia dan mempunyai lebih banyak pengikut dari agama apapun di dunia, maka agama Kristen pastilah benar.

Memang benar agama Kristen telah menyebar luas, tetapi bagaimanakah penyebaran ini terjadi? Sampai ke abad 15, agama Kristen hanya terbatas di benua Eropa saja. Setelah abad 15, tentara-tentara Eropa menyebar ke seluruh dunia memaksakan agama mereka kepada orang-orang yang mereka jajah. Di kebanyakan negara yang dijajah (seperti Sri Lanka, Filipina, Taiwan dan beberapa bagian dari India) dibuat hukum-hukum untuk melarang semua agama selain agama Kristen. Sampai ke akhir abad ke-19, kekerasan yang keji tidak lagi dipakai untuk memaksakan agama Kristen, tetapi di bawah pengaruh penyebar-penyebar Injil, petugas-petugas negara penjajah mencoba menghalangi agama-agama non-Kristen sebanyak mungkin.

Hari ini, penyebaran agama Kristen didukung oleh bantuan keuangan yang berlimpah yang para penyebar Injil dapatkan kebanyakan dari Amerika Serikat. Maka agama Kristen tidaklah tersebar karena ajarannya yang dianggap paling mulia, melainkan karena faktor-faktor lain.

Tentang apakah agama Kristen adalah agama yang paling banyak penganutnya di dunia ini. Dapatkah kita memasukkan orang-orang Mormon, Kesaksian Yehova, Moonies sebagai orang Kristen? Bisakah kita memasukkan kumpulan-kumpulan dan sekte-sekte aneh yang berkembang di Amerika Selatan dan Afrika yang jumlahnya mencapai jutaan itu sebagai orang-orang Kristen? Bahkan hampir semua orang Protestan tidak menganggap orang Katolik sebagai orang Kristen! (Catatan dari penterjemah: Begitulah kenyataan yang ada. Orang Kristen yang sering menghina Katolik dan tidak menganggap orang Katolik sebagai orang Kristen. Tetapi kalau orang-orang Kristen sedang berusaha untuk mengajak orang berpindah agama, banyak dari mereka akan menganggap orang Katolik sebagai orang Kristen untuk membanggakan banyaknya pengikut Kristiani.)

Kalau kita tidak mengakui semua aliran-aliran aneh dan sesat agama Kristen sebagai 'Kristen Sejati', maka ini mungkin akan membuat agama Kristen sebagai salah satu agama terkecil di dunia. Ini juga tentunya menjelaskan mengapa Alkitab mengatakan bahwa hanya 144.000 (Seratus empat puluh empat ribu) orang yang akan diselamatkan pada Hari Pengadilan Terakhir. (Wahyu 14:3-4). Tetapi walaupun jikalau agama Kristen adalah agama yang paling banyak penganutnya di dunia, apalah artinya? Dua ratus tahun yang lalu kebanyakan manusia percaya bahwa bumi ini datar. Sejak itu mereka telah terbukti salah. Ketepatan dan kebenaran suatu kepercayaan tidaklah berhubungan dengan jumlah orang yang menerima kepercayaan tersebut.


Buddhisme boleh saja menjadi filosofi yang luhur, tetapi kalau kau melihat negara-negara Buddhis, kamu akan melihat kelihatannya sangat sedikit orang yang mengamalkan ajarannya.

Mungkin! Tetapi bukankah demikian halnya dengan negara-negara Kristen? Orang Kristen jujur yang mana yang berani mengatakan bahwa SEMUA orang Kristen secara penuh dan tulus menjalankan sepenuhnya ajaran Yesus? Marilah kita tidak mengadili sebuah agama atas dasar mereka yang tidak menjalankan ajaran agama itu.

Kerancuan Pandangan Mengenai Lenyapnya Ajaran

Pada salah satu kotbahnya Sang Buddha Gotama menyatakan bahwa dalam proses berakhirnya era Beliau selama 5000 tahun ini akan ada lima kelenyapan, yaitu: lenyapnya pencapaian tingkat kesucian, lenyapnya Ajaran, lenyapnya pelaksanaan benar, lenyapnya simbol/bentuk luar, dan terakhir lenyapnya Relik.

Lenyapnya Ajaran berarti lenyapnya Tipitaka secara berangsur sampai tidak ada lagi orang yang mampu mengingat bahkan empat syair Ajaran Para Buddha. Tetapi selama Tipitaka masih ada secara utuh bersama kita maka kelenyapan Ajaran belum terjadi walaupun pada kenyataannya sekarang ini Dhamma-Dhamma palsu sudah mulai banyak bermunculan menjamur dan mewabah di berbagai belahan dunia memanfaatkan kesempatan dari kebodohan batin manusia yang semakin tebal. Pada saatnya nanti ketika Ajaran telah lenyap tentu saja Dhamma yang sejati tidak mungkin lagi dapat ditemukan dan pada waktu itu hanya Dhamma-Dhamma palsu dan semua ajaran yang bukan Dhamma yang dapat ditemukan. Inilah kesimpulan kita mengenai lenyapnya Ajaran.

Bertentangan dengan kesimpulan itu ada sekelompok orang yang membentuk intepretasi mereka sendiri sebagai berikut: Dhamma yang sejati tidak akan lenyap dari dunia sampai munculnya Dhamma yang palsu menggantikannya. Ketika Dhamma palsu muncul maka itulah waktunya Dhamma yang sejati lenyap." Jadi menurut mereka sekarang Dhamma yang sejati sudah tidak ada lagi karena sudah banyak Dhamma palsu menjamur di seluruh belahan dunia. Ini adalah salah satu bentuk kerancuan pandangan yang perlu diluruskan.

Ajaran Buddha yang sejati bukan lenyap karena ajaran palsu muncul dan menggantikannya melainkan karena memang masa berlakunya sudah berakhir. Ajaran yang sejati dan ajaran yang palsu bisa saja eksis dalam kurun waktu bersamaan seperti yang sekarang tengah terjadi. Jadi jelas sekarang bahwa karena Tipitaka masih ada dalam bentuknya yang utuh maka artinya Dhamma sejati belum lenyap walaupun ada banyak Dhamma palsu di mana-mana. Ini hanyalah merupakan bagian dari pertanda proses lenyapnya Dhamma secara berangsur. Ketika tiba waktunya nanti Dhamma yang sejati lenyap maka otomatis tidak ada lagi Dhamma sejati yang dapat ditemukan manusia, tentunya yang bisa ditemukan hanyalah Dhamma palsu.

Kerancuan Pandangan Mengenai Datangnya Buddha Metteya

Bagi siapa saja yang mengerti arti dari kata Sammasambuddha akan merasa sangat janggal bila diminta untuk percaya bahwa Buddha Metteya lengkap dengan ciri-cirinya telah lahir di bumi ini di antara kita dengan nama lain sekitar satu abad sebelum tahun 1943. (catatan: tanggal 1 Agustus 1943 tengah hari dihitung sebagai akhir dari sistem penanggalan Kali Yuga). Tetapi ternyata ada saja sekelompok orang yang percaya demikian. Mereka bisa berpandangan demikian tentunya karena mengambil sebagian dari isi kotbah tersebut dan mengabaikan sisanya, kemudian direka-reka sesuai dengan perhitungan dan perkiraan mereka sendiri, padahal seharusnya isi dari kotbah merupakan satu kesatuan jalan cerita. Ini juga salah satu pandangan yang perlu diluruskan.

Sama seperti empat Sammasambuddha yang telah muncul di bumi yang ini, Buddha Metteya adalah juga Sammasambuddha yang berarti Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna dengan upaya sendiri tanpa bantuan makhluk lain kemudian membabarkan Dhamma kepada manusia dan dewa. Dengan demikian berarti selama Ajaran dari Sammasambuddha terdahulu masih eksis maka tidak akan mungkin muncul Sammasambuddha baru. Mengapa? Tentu saja karena bila Ajaran dari Buddha yang terdahulu masih eksis maka tidak perlu bagi calon Sammasambuddha yang bersangkutan untuk bersusah payah menemukan kembali Dhamma dengan upaya sendiri. Beliau cukup pergi ke perpustakaan lalu membaca kitab Tipitaka yang masih utuh dan lengkap atau pergi kepada bhikkhu suci yang masih hidup untuk belajar. Dan bila sekalipun kemudian calon Sammasambuddha itu mencapai tingkat kesucian tertinggi setelah membaca dan memahami Tipitaka maka Beliau tidak dapat disebut sebagai Sammasambuddha melainkan disebut sebagai Arahat Savaka Buddha yang artinya Orang yang mencapai tingkat Arahat karena belajar dari Ajaran Buddha. Jadi kesimpulannya Sammasambuddha hanya mungkin muncul pada saat dunia hampa dari Ajaran Buddha.

Mereka yang percaya bahwa Buddha Metteya telah lahir di antara kita adalah orang-orang yang sama yang percaya bahwa Ajaran Buddha sekarang ini telah lenyap total digantikan dengan Dhamma palsu. Mereka melihat semua gejala-gejala yang terjadi di dunia sekarang ini adalah sama dengan yang digambarkan oleh Sang Buddha dalam khotbahnya mengenai kehancuran moralitas seiring dengan semakin pendeknya usia manusia.

Pada kenyataannya memang benar bahwa sekarang banyak terjadi bencana alam, perang, pembantaian, wabah penyakit, kekurangan pangan, kemiskinan, kekerasan, pencurian, pembunuhan, dusta, fitnah, kata-kata kasar, membual, iri hati, dendam, pandangan sesat, berzinah dengan saudara sendiri (incest), keserakahan, pemuasan nafsu, kurang patuh pada orangtua, petapa, orangtua, dan pemimpin masyarakat. Memang benar Dhamma palsu banyak bermunculan. Memang benar Ajaran Buddha yang sejati semakin memudar. Memang benar semakin banyak orang berjubah bhikkhu yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan Vinaya. Memang benar relik ada yang berpindah tempat. Tetapi ini semua bukan otomatis berarti bahwa Dhamma sejati telah lenyap melainkan hanya merupakan bagian dari pertanda proses menuju akhir dari era ajaran Buddha Gotama sesuai dengan apa yang digambarkan dalam khotbah Beliau. Kemerosotan moral itu semakin hari akan semakin meningkat dari segi kwalitas, kwantitas dan intensitasnya sampai satu waktu mencapai titik puncak kebobrokan dari segala segi di mana manusia tidak mungkin bisa lebih bobrok lagi daripada itu.

Jadi sekali lagi hendaknya kita pahami bahwa sekarang Tipitaka masih utuh, berarti Ajaran Buddha belum lenyap jadi tidak mungkin Buddha Metteya sudah muncul. Apalagi dalam kotbah disebutkan bahwa kemunculan Buddha Metteya adalah pada waktu usia manusia rata rata 80.000 tahun sedangkan usia rata-rata manusia pada zaman sekarang hanya puluhan tahun saja dan semakin memendek dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi. Artinya sekarang ini adalah periode menuju titik terendah usia manusia, yaitu 10 tahun. Setelah menyentuh titik balik terendah maka siklus usia manusia kembali bertambah secara berangsur menuju ke 80.000 tahun.

Kerancuan Sikap Mental Terhadap Buddha yang Akan Datang

Munculnya Buddha yang akan datang bernama Buddha Metteya adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan oleh semua yang mengaku siswa Sang Buddha karena peristiwa itu memang pernah dinyatakan langsung oleh Sang Buddha Gotama sendiri. Kapan waktunya Beliau akan muncul juga tidak perlu dipersoalkan karena tentunya ketika masanya tiba dan kondisinya sesuai Beliau akan muncul. Yang penting mulai sekarang kita terus berupaya menyempurnakan Parami mumpung Ajaran Buddha Gotama masih tersedia agar kelak bisa lahir kembali dan meneruskan perjuangan dalam era Buddha Metteya seandainya kita tidak berhasil merealisasikan Tujuan Akhir dalam era Buddha yang sekarang ini.

Yang perlu diluruskan hanyalah sikap mental yang keliru sehubungan dengan penantian kemunculan Buddha Metteya. Sikap mental dan pandangan yang bagaimanakah yang dianggap keliru?

Pertama adalah pandangan bahwa era Buddha Gotama sudah berakhir bersamaan dengan Beliau Parinibbana sehingga Ajaran Beliau dianggap sudah basi, tidak relevan lagi di zaman sekarang. Dan karena era Buddha Gotama dianggap telah berakhir maka otomatis sekarang dipercaya sebagai era Buddha selanjutnya yaitu Buddha Metteya. Padahal mereka juga mengetahui dengan jelas bahwa Buddha Metteya belum lahir.

Sebetulnya ada kontroversi di dalam pandangan itu sendiri yaitu Buddha yang belum lahir dengan Ajaran yang sudah muncul. Suatu Ajaran disebut sebagai Ajaran Buddha tentu saja karena pertama kalinya diajarkan oleh Sammasambuddha sebagai penemu kembali Dhamma yang telah hilang lenyap di antara manusia dan dewa. Jadi Ajaran Buddha pastilah bukan ajaran manapun yang ditemukan dan diajarkan pertama kalinya oleh siapapun yang bukan Sammasambuddha. Jadi bila Buddha yang akan datang belum lahir otomatis berarti Ajaran Beliau pasti juga belum ada. Ini adalah logikanya.

Kedua adalah sikap mental terhadap Buddha yang akan datang. Karena menganggap Buddha Gotama sudah tidak punya kekuatan lagi maka yang menjadi sasaran permintaan dan permohonan tentunya adalah calon pengganti Beliau, yaitu Buddha Metteya. Kemunculan Buddha Metteya nanti digambarkan dan diharapkan sebagai juru selamat yang misinya membawa serta para pengikutnya mencapai Nibbana yang notabene diartikan sebagai kehidupan kekal dalam kebahagiaan abadi. Kata membawa serta ke Nibbana di sini cenderung diartikan seperti seorang ayah yang mengajak anak-anak kesayangannya pergi jalan-jalan ke mal. Atau juga seperti korban gempa yang menunggu dievakuasi ke tempat yang aman oleh tim penyelamat.

Berdasarkan kepercayaan itu maka dalam masa penantian ini orang yang bersangkutan akan melakukan puji dan puja kepada Buddha Metteya yang disertai permohonan agar Beliau tidak lupa membawa serta dirinya serta keluarganya ke Nibbana. Malahan untuk lebih memastikan nama orang-orang yang bersangkutan tidak ketinggalan maka dirasa perlu adanya pendaftaran dimuka yang tentunya disertai syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dan sekaligus ditindaklanjuti dengan mengabdi dan berbakti demi terpenuhinya harapannya itu.

Ada apa yang salah dengan kepercayaan itu? Para Buddha dari segala masa tentunya termasuk juga Buddha Gotama dan Buddha Metteya hanya mengajarkan inti yang sama, yaitu:" Tidak berbuat jahat, senantiasa menambah kebajikan dan mensucikan batin." Untuk apa melaksanakan Ajaran ini? Tentunya untuk mencapai Tujuan Akhir yaitu Nibbana. Bagaimana bisa? Dengan melaksanakan Ajaran itu dengan benar maka tiga akar kekotoran batin, yaitu lobha, dosa dan moha akan terkikis sampai akhirnya lenyap tuntas.

Lobha, dosa, dan moha adalah penyebab dukkha artinya selama masih ada lobha, dosa dan moha dalam batin maka selama itu pula akan terjadi kelanjutan arus kelahiran atau tumibal lahir dalam samsara (lingkaran kelahiran dan kematian). Dengan lenyapnya ketiga akar itu maka tidak ada lagi kelahiran selanjutnya, tidak ada lagi dukkha, bebas dari samsara. Inilah yang dimaksud dengan Nibbana dalam pola pikir Buddhis.

Jadi jelas bahwa Nibbana yang dimaksud oleh Sang Buddha mesti dicapai dengan upaya melatih diri mengikis akar kekotoran batin sesuai dengan metode yang telah diajarkan Sang Buddha. Tidak ada Buddha yang pernah mengajarkan pengikutnya untuk minta diajak serta mencapai Nibbana seperti contoh anak kecil yang minta orangtuanya mengajak pergi ke mal. Sang Buddha adalah Guru penunjuk Jalan, kita semua lah yang harus berupaya sendiri berlatih mengikuti jalan atau petunjuk Beliau. Realisasi Nibbana adalah hasil perjuangan yang teramat panjang. Bukan hadiah. Bukan hasil undian atau pilih kasih. Bukan hasil memuja dan memuji. Bukan hasil mendaftar di muka. Bukan juga hasil dari memohon dan meminta. Setelah memahami demikian hendaknya kita tidak lagi mudah terperdaya pandangan salah.

Ciri ciri Ajaran Buddha yang Benar

Yang paling utama adalah bahwa Ajaran Buddha di era Buddha Gotama ini harus berdasarkan kitab suci Tipitaka yang merupakan rangkuman dari semua kotbah Sang Buddha selama 45 tahun. Bukan berdasarkan kitab lain. Kemudian jika Tipitaka diringkas dan diambil sarinya akan menjadi 37 faktor penerangan sempurna (bodhipakkhiya-dhamma). Bila dipadatkan lagi akan menjadi 7 Kemurnian (7 visuddhi), kemudian bila diringkas lagi menjadi sila, samadhi dan panna. Ketiga ini disebut tiga sikkha (latihan). Bila dijabarkan maka pelaksanaannya menjadi jalan mulia berunsur delapan (atthangika-magga).

Landasan pokok yang harus ada dalam setiap Ajaran yang menyatakan diri sebagai Ajaran Buddha adalah: tiga mustika (tiratana), tiga corak universal (tilakkhana), empat kebenaran Mulia (cattari ariya saccani), hukum kamma dan tumimbal lahir (kamma dan patisandhi/punabbhava), Nibbana.

Benang merah dari seluruh isi Ajaran dimaksudkan untuk melatih diri memahami realitas akhir Anatta, menyadari samsara sebagai dukkha, dan melaksanakan Jalan menuju akhir dukkha. Ajaran apapun namanya yang tidak ada benang merah ini pasti bukan Ajaran Buddha meskipun ajaran tersebut mengandung nilai-nilai kebajikan sekalipun. Hanya Buddha yang dapat menunjukkan Jalan menuju akhir dukkha.

Lunturnya Praktik Dhamma

Praktik Dhamma bisa dikatakan mudah, juga bisa dikatakan teramat sulit. Mudah dalam arti praktik Dhamma "hanya" berupaya mempraktikkan dana, sila, samadhi, dan panna dalam kehidupan sehari-hari sesuai kapasitas kita. Tidak mesti sampai menyendiri di gunung dan hutan kecuali bila kita sudah sampai tahap kemajuan tertentu di mana membutuhkan kondisi yang lebih khusus untuk bisa mencapai kemajuan lebih lanjut. Lalu di mana sulitnya? Ya, mempraktikkannya itulah yang sulit. Mengapa sulit? Ya, karena kita tidak membiasakan diri maka menjadi sulit.

Seberapa sering kita melihat, mendengar, mengetahui orang lain atau bahkan mengalami sendiri naik turun, pasang surut mempraktikkan dhamma. Pada suatu masa kita begitu rajin belajar dhamma, membantu menyebarluaskan dhamma, berdana, menjaga sila, melatih meditasi samatha dan vipassana kemudian pada masa selanjutnya kita mulai malas belajar dhamma, mulai kendur berdana, mulai melanggar sila kecil-kecilan, mulai malas bermeditasi. Ini adalah pasang surut yang sangat umum terjadi pada kita semua. Hal ini lumrah karena kita memang masih terlalu mentah untuk memahami dhamma. Tetapi kita sebenarnya bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari kelumrahan tersebut.

Lingkaran setan yang biasa ditemukan dalam hal praktik Dhamma adalah pada saat kita mulai kendur praktik maka pemahaman dhamma kita pun turut memudar, sejalan dengan semakin pudarnya pemahaman maka sudah tentu praktik menjadi semakin kendur lagi karena kita mulai lupa tujuan dan manfaat praktik Dhamma, sampai akhirnya satu saat kita sama sekali mengabaikan praktik dan melupakan dhamma. Ketika kita telah melupakan Dhamma maka batin menjadi gelap, kosong, gelisah, sangat menderita, serba salah sehingga mudah sekali kita terombang ambing mengikuti kepercayaan ini dan itu, terperdaya ajaran rendah dan terhasut pengertian sesat. Yang tidak kalah berbahayanya, batin yang kosong sangat rentan tergoda untuk melakukan perbuatan buruk karena telah hilangnya pengertian benar dan minimnya pertahanan pengendalian diri apalagi di tengah gencarnya serbuan godaan duniawi di sekitar kita seperti gemerlapnya harta kekayaan dan kekuasaan, kenikmatan narkoba dan minuman keras, seks, dan seterusnya. menjadi gelap, kosong, gelisah, sangat menderita, serba salah sehingga mudah sekali kita terombang ambing mengikuti kepercayaan ini dan itu, terperdaya ajaran rendah dan terhasut pengertian sesat. Yang tidak kalah berbahayanya, batin yang kosong sangat rentan tergoda untuk melakukan perbuatan buruk karena telah hilangnya pengertian benar dan minimnya pertahanan pengendalian diri apalagi di tengah gencarnya serbuan godaan duniawi di sekitar kita seperti gemerlapnya harta kekayaan dan kekuasaan, kenikmatan narkoba dan minuman keras, seks, dan seterusnya.

Itulah konsekwensi logis dari lunturnya praktik dhamma, seumpama orang yang ditutup matanya dan dilepas sendirian ke hutan belukar yang dipenuhi binatang buas dan jurang-jurang. Terlalu berbahaya. Ketika kita tidak lagi menyadari kesalahan sebagai kesalahan sehingga terus berbuat kesalahan sebagai bentuk kebiasaan maka kita menuju ke tempat gelap dan pintu-pintu empat alam apaya (alam rendah) akan terbuka semakin lebar siap menanti.

Lingkaran arah kebalikannya adalah semakin kita rajin praktik Dhamma maka otomatis pemahaman kita akan semakin mendalam. Dengan pemahaman yang semakin mendalam seiring dengan manfaat yang NAGAWI kita rasakan langsung, maka tekad kita akan semakin kuat untuk mencapai tujuan dan dengan demikian semangat bertambah untuk mempraktikkan dhamma lebih baik lagi dan sebagai hasilnya tentu pemahaman akan semakin dan semakin dalam sampai suatu saat nanti dengan upaya yang berkesinambungan mudah-mudahan tujuan luhur kita tercapai.

Batin yang senantiasa kokoh mengingat Dhamma tidak akan mudah terperangkap tipu daya pikiran sendiri untuk melakukan perbuatan buruk dan tentunya hampir tidak ada peluang bagi pengertian sesat untuk bisa masuk dan berkembang.

Penutup

Akhirnya untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin saja terjadi, perlu kiranya disampaikan bahwa tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menuding ataupun memojokkan aliran kepercayaan tertentu. Tujuan dari tulisan ini hanyalah memberikan pendapat dari berbagai sudut pandang yang mungkin dapat membantu para pembaca untuk merevisi pola pikir sehingga mampu menyadari kerancuan sebagai kerancuan sehubungan dengan fenomena yang terjadi dalam proses berakhirnya era Buddha Gotama supaya tidak terperangkap dalam kepercayaan salah yang tidak membawa manfaat kearah kemajuan perkembangan batin.

Kemudian bagi siapa yang menyadari bahwa praktik Dhammanya sudah semakin luntur, mudah-mudahan tulisan ini bisa membangkitkan kembali semangat Anda demi kebaikan Anda sendiri.

Sumber:
- The Requisites of Enlightenment (Bodhipakkhiya Dipani), A Manual by The Venerable Ledi Sayadaw, Buddhist Publication Society, Kandy 1971, Ceylon
- Prophecies of The Buddha, Buddhist Time Prophecies.htm

Wednesday, March 4, 2009

Kalama Sutta (Keunggulan Agama Buddha)

Assaddho akatannu ca
sandhicchedo ca yo naro
hatavakaso vantaso
sa ve uttamaporiso.

Orang yang telah bebas dari ketahyulan,
yang telah mengerti keadaan tak tercipta (nibbana),
yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir)
yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat),
yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.


Pada masa Sang Buddha, telah ada banyak aktivitas intelektual besar di India. Beberapa orang terpandai yang diketahui oleh dunia telah berkecimpung di dalam kontroversi keagamaan besar sepanjang masa.

Apakah ada Sang Pencipta? Tidak adakah Sang Pencipta? Adakah jiwa itu? Tidak adakah jiwa itu? Apakah dunia tanpa awal? Apakah ada awal permulaan?

Ini merupakan beberapa topik yang hangat diperdebatkan sepanjang waktu. Dan tentu saja, seperti saat ini, semua mengklaim bahwa hanya dialah yang memiliki semua jawaban dan siapapun yang tidak mengikutinya akan dikutuk dan dimasukkan ke dalam neraka! Sebenarnya, semua pencarian keras atas kebenaran ini hanya akan menghasilkan lebih banyak lagi kebingungan.

Sekelompok pemuda yang saleh dari suku Kalama pergi menghadap Sang Buddha untuk menyampaikan kebingungan mereka. Mereka bertanya kepadaNya apa yang seseorang harus lakukan sebelum menerima atau menolak suatu ajaran.


1. Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Berita Semata

Nasihat Sang Buddha seperti yang disebutkan dalam Kalama Sutta adalah untuk tidak menerima apapun berdasarkan pada berita, tradisi, kabar angin semata. Biasanya orang mengembangkan keyakinan mereka setelah mendengarkan perkataan orang lain. Tanpa berpikir mereka menerima apa yang orang lain katakan mengenai agama mereka atau apa yang telah tercatat dalam buku-buku keagamaan mereka. Kebanyakan orang jarang sekali mengambil resiko untuk menyelidiki, untuk menemukan apakah yang dikatakannya benar atau tidak. Sikap umum seperti ini sukar untuk dipahami, khususnya di dalam era modern saat ini ketika pendidikan sains mengajarkan orang untuk tidak menerima sama sekali apapun yang tidak bisa dijelaskan secara rasional. Bahkan sekarang ini banyak yang disebut sebagai pemuda berpendidikan hanya menggunakan emosi atau ketaatan mereka tanpa menggunakan pikiran naralnya.

Dalam Kalama Sutta, Sang Buddha memberikan nasihat yang sangat liberal (bebas) kepada sekelompok pemuda dalam menerima suatu agama secara rasional. Ketika orang-orang muda ini tidak dapat memutuskan bagaimana memilih agama yang sesuai, mereka menghadap kepada Sang Buddha untuk mendapatkan nasihatNya. Mereka mengatakan kepadaNya bahwa semenjak berbagai kelompok agama memperkenalkan agamanya dalam berbagai cara, mereka mengalami kebingungan dan tidak bisa memahami cara keagamaan mana yang benar. Para pemuda ini bisa diibaratkan dalam istilah modern sebagai para pemikir bebas (free thinkers), atau para pencari kebenaran (truth seekers). Inilah mengapa mereka memutuskan untuk mendiskusikan hal ini dengan Sang Buddha. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk memberikan beberapa garis pedoman untuk membantu mereka menemukan suatu agama yang sesuai dimana dengannya mereka dapat menemukan kebenaran.

Dalam menjawab pertanyaan mereka, Sang Buddha tidak mengklaim bahwa Dhamma (ajaranNya) merupakan satu-satunya ajaran yang bernilai dan siapapun yang mempercayai hal lain akan masuk ke neraka. Justru Beliau memberikan beberapa nasihat yang penting untuk mereka pertimbangkan. Sang Buddha tidak pernah menganjurkan orang untuk menerima suatu agama hanya melalui iman (faith) semata tetapi Beliau menganjurkan mereka untuk mempertimbangkan dan memahami segala sesuatunya tanpa bias (praduga/menyimpang). Beliau juga tidak menganjurkan orang untuk menggunakan emosi atau ketaatan semata yang berdasarkan pada kepercayaan yang membuta di dalam menerima suatu agama. Inilah mengapa agama yang berdasarkan pada ajaranNya sering digambarkan sebagai agama rasional. Agama ini juga dikenal sebagai agama merdeka dan beralasan (religion of freedom and reason). Kita seharusnya tidak menerima apapun melalui iman atau emosi untuk mempraktikkan suatu agama. Kita seharusnya tidak menerima suatu agama begitu saja dikarenakan agama itu menghilangkan ketakutan bodoh kita mengenai apa yang akan terjadi pada diri kita, kapan kita mati ataupun ketakutan kita ketika diancam oleh api neraka jika kita tidak menerima beberapa ajaran atau yang lainnya. Agama harus diterima melalui pilihan bebas. Setiap pribadi harus menerima suatu agama karena pemahaman dan bukan karena agama itu merupakan hukum yang diberikan oleh suatu penguasa atau kekuatan-kekuatan supernatural. Menerima suatu agama haruslah bersifat pribadi dan berdasarkan pada kepastian rasional akan agama yang akan diterima.

Orang dapat membuat berbagai macam klaiman mengenai agama mereka dengan membesar-besarkan berbagai macam peristiwa untuk mempengaruhi orang lain. Kemudian, mereka dapat memperkenalkannya sebagai pesan surgawi untuk menumbuhkan iman atau rasa percaya. Tetapi kita harus membaca apa yang tertulis secara analitis dengan menggunakan akal sehat dan kekuatan pikiran. Itulah mengapa Sang Buddha menasihatkan kita untuk tidak menerima secara tergesa-gesa apapun yang tercatat, tradisi, atau kabar angin semata. Orang mempraktikkan tradisi-tradisi tertentu yang berdasarkan pada kepercayaan, kebiasaan atau cara hidup komunitas dimana mereka berada. Namun, beberapa tradisi sangatlah penting dan berarti. Oleh karena itu, Sang Buddha tidak mengecam semua tradisi adalah salah tetapi menasihatkan kita untuk mempertimbangkannya dengan sangat berhati-hati praktik mana yang penuh arti dan mana yang tidak. Kita harus mengetahui bahwa beberapa tradisi tertentu tersebut menjadi ketinggalan jaman dan tidak berarti lagi setelah beberapa periode waktu. Hal ini mungkin disebabkan karena kebanyakan di antaranya diperkenalkan dan dipraktikkan oleh orang-orang primitif dan pemahaman mereka tentang kehidupan manusia dan alam sangatlah terbatas pada masa itu. Jadi, pada masa sekarang ini ketika kita menggunakan pendidikan sains modern kita dan pengetahuan akan alam semesta, kita dapat melihat sifat sesungguhnya dari kepercayaan mereka. Kepercayaan yang dimiliki orang-orang primitif mengenai matahari, bulan, dan bintang-bintang, bumi, angin, halilintar, guntur dan halilintar, hujan dan gempa bumi, berdasarkan pada usaha mereka untuk menjelaskan fenomena alam yang nampaknya sangat mengerikan. Mereka memperkenalkan fenomena alam tersebut sebagai tuhan-tuhan (dewa) atau perbuatan-perbuatan tuhan dan kekuatan-kekuatan supernatural.


2. Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Tradisi Semata

Dengan pengetahun kita yang telah maju, kita dapat menjelaskan fenomena alam yang nampaknya mengerikan ini sebagaimana apa adaya. Itulah mengapa Sang Buddha mengatakan, “Janganlah menerima dengan segera apa yang kau dengar. Janganlah mencoba untuk membenarkan perilaku tidak rasionalmu dengan mengatakan ini adalah tradisi-tradisi kami dan kita harus menerimanya.” Kita seharusnya tidak percaya begitu saja kepada takhayul ataupun dogma agama karena orang yang dituakan melakukan hal yang sama. Ini bukan berarti kita tidak menghormati para sesepuh kita, tetapi kita harus melaju bersama waktu. Kita seharusnya memelihara kepercayaan-kepercayaan yang sesuai dengan pandangan dan nilai-nilai modern dan menolak apapun yang tidak diperlukan atau yang tidak sesuai karena waktu telah berubah. Dengan cara ini kita akan dapat hidup dengan lebih baik.

Satu generasi yang lalu, seorang pendeta Anglikan, Uskup dari Woolich menyatakan sebuah kalimat, “Tuhan dari celah“ (God of the gaps) untuk menjelaskan bahwa apapun yang tidak kita pahami merupakan atribut tuhan. Karena pengetahuan kita terhadap dunia telah berkembang, kekuatan tuhan pun berkurang secara bersamaan.


3. Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Kabar Angin Semata

Semua orang suka mendengarkan cerita. Mungkin itulah mengapa orang mempercayai kabar angin. Anggaplah ada seratus orang yang telah melihat sebuah peristiwa tertentu dan ketika setiap orang menceritakannya kembali kepada yang lain, ia akan menghubungkannya dengan cara yang berbeda dengan menambahkan lebih banyak hal lainnya dan membesar-besarkan hal yang kecilnya. Ia akan menambahkan “garam dan bumbu” untuk membuat ceritanya lebih seru dan menarik dan untuk memperindahnya. Umumnya setiap orang akan menceritakan suatu kisah seolah-olah dialah satu-satunya yang dapat menceritakan kepada orang lain apa yang benar-benar terjadi. Inilah sifat sesungguhnya dari cerita yang dibuat dan disebarkan oleh orang. Ketika Anda membaca beberapa kisah dalam agama apapun, cobalah untuk ingat bahwa kebanyakan dari interpretasinya adalah hanya untuk menghias peristiwa kecil untuk menarik perhatian orang. Jika tidak demikian, maka tidak akan ada apapun bagi mereka untuk diceritakan kepada orang lain dan tak seorang pun akan menaruh perhatian pada kisah itu.

Di sisi lain cerita dapat sangat bermanfaat. Cerita merupakan cara yang menarik untuk menyampaikan pelajaran moral. Literatur Buddhis merupakan gudang yang besar dari beragam kisah cerita. Tetapi itu hanyalah cerita. Kita harus tidak mempercayainya seperti seolah-olah cerita itu adalah kebenaran mutlak. Kita seharusnya tidak seperti anak kecil yang percaya bahwa seekor serigala dapat menelan hidup-hidup seorang nenek dan berbicara kepada manusia! Orang dapat berbicara mengenai berbagai macam keajaiban, tuhan-tuhan/dewa, dewi, bidadari-bidadari dan kekuatan mereka berdasarkan pada kepercayaan mereka. Kebanyakan orang cenderung untuk menerima dengan segera hal-hal tersebut tanpa penyelidikan apapun, tetapi menurut Sang Buddha, kita seharusnya tidak mempercayai dengan segera apapun karena mereka yang menceritakannya kepada kita akan hal itu pun terpedaya olehnya. Kebanyakan orang di dunia ini masih berada dalam kegelapan dan kemampuan mereka untuk memahami kebenaran sangatlah miskin. Hanya beberapa orang yang memhami segala sesuatu secara sewajarnya. Bagaimana mungkin seorang buta menuntun seorang buta lainnya? Kemudian ada perkataan lain, ”Jack si mata satu dapat menjadi raja dikerajaan orang buta.” Beberapa orang mungkin hanya mengetahui sebagian dari kebenaran. Kita perlu berhati-hati dalam menjelaskan kebenaran mutlak ini kepada mereka.


4. Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Otoritas Teks-Teks Keagamaan Semata

Selanjutnya Sang Buddha memperingati kita untuk tidak mempercayai apapun berdasarkan pada otoritas teks-teks keagamaan ataupun kitab-kitab suci. Beberapa orang selalu mengatakan bahwa semua pesan-pesan yang terdapat dalam kitab-kitab suci mereka disampaikan secara langsung oleh tuhan mereka. Sekarang ini, mereka mencoba untuk memperkenalkan buku-buku tersebut sebagai pesan dari surga. Hal ini sukar untuk dipercaya bahwa mereka menerima pesan ini dari surga dan mencatatnya dalam kitab suci mereka hanya pada beberapa ribu tahun yang lampau. Mengapa wahyu ini tidak diberikan lebih awal? (Menimbang bawa planet bumi ini berusia empat setengah miliar tahun). Mengapa wahyu tersebut dibuat hanya untuk menyenangkan beberapa orang tertentu saja? Tentunya akan jauh lebih efektif jika mengumpulkan semua orang dalam suatu tempat dan menyatakan kebenaran kepada banyak orang daripada bergantung pada satu orang untuk melakukan pekerjaan itu. Bukankah tetap lebih baik jika tuhan-tuhan mereka menampakkan diri pada hari-hari penting tertentu dalam setahun untuk membuktikan keberadaan dirinya secara berkala? Dengan cara demikian tentunya mereka tidak akan memiliki kesulitan sama sekali untuk mengubah seluruh dunia!

Umat Buddha tidak berusaha untuk memperkenalkan ajaran Sang Buddha sebagai pesan surgawi, dan mereka mengajarkan tanpa menggunakan kekuatan mistik apapun. Menurut Sang Buddha, kita tidak seharusnya menerima ajaranNya seperti yang tercatat dalam kitab suci Buddhis secara membuta dan tanpa pemahaman yang benar. Ini merupakan kebebasan yang luar biasa yang Sang Buddha berikan kepada kita. Meskipun Beliau tidak pernah mengklaim bahwa umat Buddha adalah orang-orang pilihan tuhan, Beliau memberikan penghargaan jauh lebih besar kepada kecerdasan manusia dibanding dengan yang pernah dilakukan oleh agama manapun.

Cara yang terbaik bagi seseorang yang berasional untuk mengikuti adalah mempertimbangkan secara hati-hati sebelum ia menerima atau menolak segala sesuatu. Mempelajari, berpikir, menyelidiki sampai Anda menyadari apa yang ada sebenarnya. Jika Anda menerimanya hanya berdasarkan pada perintah atau kitab-kitab suci, Anda tidak akan menyadari kebenaran bagi diri Anda sendiri.


5. Janganlah Bergantung Pada Logika dan Argumentasi Pribadi Saja

“Janganlah bergantung pada logika dan argumentasi pribadi saja” merupakan nasihat lain dari Sang Buddha. Janganlah berpikir bahwa penalaran Anda adalah hal yang mutlak. Kalau tidak demikian, Anda akan berbangga diri dan tidak mendengarkan orang lain yang lebih mengetahui dibandingkan dengan diri Anda. Biasanya kita menasihatkan orang lain untuk menggunakan penalaran. Benar, dengan menggunakan daya pikiran dan akal yang terbatas, manusia berbeda dengan hewan dalam hal menggunakan pikirannya. Bahkan seorang anak kecil dan orang yang tidak berpendidikan pun menggunakan penalaran sesuai dengan usia, kedewasaan, pendidikan, dan pemahaman. Tetapi penalaran ini berbeda berdasarkan pada kedewasaan, pengetahuan, dan pengalaman. Sekali lagi, penalaran ini merupakan subjek dari perubahan, dari waktu ke waktu. Identitas seseorang atau pengenalan akan konsep-konsep juga berubah dari waktu ke waktu. Dalam penalaran seperti itu tidak ada analisa terakhir atau kebenaran mutlak. Karena kita tidak memiliki pilihan lain, kita harus menggunakan penalaran terbatas kita secara keras sampai kita mendapatkan pemahaman yang sebenarnya. Tujuan kita seharusnya adalah mengembangkan pikiran kita secara berkesinambungan dengan bersiap diri untuk belajar dari orang lain tanpa menjadi masuk ke dalam kepercayaan membuta. Dengan membuka diri kita pada cara berpikir yang berbeda, dengan membiarkan kepercayaan kita tertantang/teruji, dengan selalu tetap membuka pikiran, kita mengembangkan pemahaman kita atas diri kita sendiri dan dunia di sekeliling kita. Sang Buddha mengunjungi setiap guru yang dapat Beliau temukan sebelum Beliau mencapai Pencerahan terakhir. Meskipun kemudian Beliau tidak menerima apapun yang mereka ajarkan. Justru, Beliau menggunakan penalaranNya untuk memahami Kebenaran. Dan ketika Beliau mencapai Penerangan Agung, Beliau tidak pernah marah atau mengancam siapapun yang tidak setuju dengan ajaranNya.

Sekarang marilah kita mempertimbangkan argumen dan logika. Kapanpun kita berpikir bahwa suatu hal tertentu dapat kita terima, kita mengatakan hal itu adalah logika. Sebenarnya, seni logika merupakan alat yang bermanfaat bagi sebuah argumen. Logika dapat diekploitasi oleh para orator (ahli pidato) berbakat yang menggunakan kepandaian dan kecerdikan. Seseorang yang mengetahui cara berbicara dapat menjatuhkan kebenaran dan keadilan serta mengalahkan orang lain. Seperti para pengacara berargumen di pengadilan. Kelompok-kelompok agama yang berbeda berargumen untuk membuktikan bahwa agama mereka lebih baik dari agama-agama yang lainnya. Argumen-argumen mereka berdasarkan pada bakat dan kemampuan mereka untuk menyampaikan pandangan-pandangan mereka tetapi sebenarnya mereka tidak tertarik kepada kebenaran. Inilah sifat dasar dari argumen. Untuk mencapai kebenaran, Sang Buddha menasihatkan kita untuk tidak terpengaruh oleh argumen atau logika tetapi menasihatkan kita untuk menggunakan penyelidikan yang tidak bias. Ketika orang-orang mulai berargumen, secara alami emosi mereka juga muncul dan hasilnya adalah argumen yang memanas. Kemudian, egoisme manusia menambah lebih banyak lagi api dalam perang kata-kata ini. Pada akhirnya, menciptakan permusuhan karena tak ada seorang pun yang mau menyerah. Oleh karena itu, seseorang seharusnya tidak memperkenalkan kebenaran agama melalui argumen. Ini merupakan nasihat penting lainnya dari Sang Buddha.


6. Janganlah Menerima Apapun Berdasarkan Pada Pengaruh Pribadi Seseorang Semata

Kemudian nasihat selanjutnya adalah janganlah menerima apapun sebagai kebenaran mutlak berdasarkan pada pengaruh pribadi seseorang. Hal ini mengacu pada kepercayaan yang dilihat sebagai kebenaran melalui imajinasi pribadi seseorang. Meskipun kita memiliki keraguan dalam pikiran kita, kita menerima hal-hal tertentu sebagai kebenaran setelah penyelidikan yang terbatas. Semenjak pikiran kita terpedaya oleh banyaknya keinginan dan perasaan-perasaan emosional, sikap batin ini menciptakan banyak ilusi. Dan kita juga sebenarnya memiliki kebodohan batin. Semua orang menderita yang diakibatkan dari kebodohan batin dan ilusi. Kekotoran batin menyelimuti pikiran yang kemudian menjadi bias dan tidak dapat membedakan antara kebenaran dan ilusi. Sebagai hasilnya, kita menjadi percaya bahwa hanya kepercayaan kitalah yang benar. Nasihat Sang Buddha adalah untuk tidak mengambil sebuah kesimpulan dengan segera dengan menggunakan perasaan emosional kita tetapi untuk mendapatkan lebih banyak lagi informasi dan penyelidikan sebelum kita mengambil kesimpulan terhadap sesuatu. Ini berarti kita harus bersedia mendengarkan terlebih dulu apa yang orang lain katakan. Mungkin mereka dapat menjernihkan keragu-raguan kita dan membantu kita untuk mengenali kesalahan atas apa yang kita percayai sebagai kebenaran. Sebagai contoh untuk hal ini adalah suatu masa ketika orang-orang pernah mengatakan bahwa matahari mengelilingi bumi dimana bumi berbentuk datar seperti layaknya uang logam. Hal ini berdasarkan pada keterbatasannya pengetahuan mereka, tetapi mereka bersiap untuk membakar hidup-hidup siapapun yang berani mengemukakan pandangan yang lain. Terima kasih kepada Guru Tercerahkan kita, Buddhisme dalam sejarahnya tidak memiliki catatan gelap dimana orang tidak diperkenankan untuk menentang apapun yang tidak masuk akal seperti itu. Inilah mengapa begitu banyak aliran Buddhisme saling bertautan secara damai tanpa mengecam satu sama yang lain. Berdasarkan pada petunjuk-petunjuk yang jelas dari Sang Buddha, umat Buddha menghormati hak-hak orang lain untuk memegang pandangan yang berbeda.


7. Janganlah Menerima Apapun Yang Kelihatannya Benar

Nasihat selanjutnya adalah janganlah menerima apapun yang kelihatannya benar. Ketika Anda melihat segala hal dan mendengarkan beberapa tafsiran yang diberikan oleh orang lain, Anda hanyalah menerima penampilan luar dari obyek-obyek tersebut tanpa menggunakan pengetahuan anda secara mendalam. Kadangkala konsep atau identitas yang Anda ciptakan mengenai suatu obyek adalah jauh dari kebenaran hakikinya.

Cobalah untuk melihat segala sesuatu dalam sudut pandang yang sebagaimana mestinya. Buddhisme dikenal sebagai Ajaran Analisis (Doktrin of Analysis). Hanya dengan melalui analisa kita dapat memahami apa yang sebenarnya terdapat pada sebuah obyek dan apakah jenis dari elemen-lemen dan energi-energi yang berkerja dan bagaimanakah hal-hal itu bisa ada, mengapa mengalami kelapukan dan menghilang. Jika Anda menelaah sifat alami dari hal-hal ini, Anda akan menyadari bahwa segala sesuatu yang ada adalah tidak kekal dan kemelekatan terhadap obyek-obyek tersebut dapat menimbulkan kekecewaan. Juga, Anda akan menyadari bahwa tidak ada hal penting dalam pertengkaran mengenai ide-ide ketika dalam analisa terakhir, ketika melihat hal-hal tersebut dalam sudut pandang yang sebebarnya, ternyata hal-hal tersebut hanyalah ilusi belaka. Umat Buddha tidaklah terjebak dalam hal-hal kontoversial mengenai kapan dunia akan berakhir karena mereka melihat bahwa secara pasti segala sesuatu yang terdiri dari perpaduan akan mengalami kehancuran. Dunia akan berakir. Tidak ada keraguan akan hal itu. Kita berakhir setiap waktu kita menarik napas masuk dan keluar. Akhir dunia (yang disampaikan oleh Sang Buddha) hanya semata-mata peristiwa dramatis dari sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan ilmu astronomi modern mengatakan pada kita bahwa dunia bergejolak setiap saat. “Mereka yang tidak mengkhawatikan masa lalu, mereka yang tidak mengkhawatirkan masa depan, maka mereka hidup dalam ketenangan” (Sang Buddha). Ketika kita mengetahui kebenaran ini, maka akhir dunia tidak lagi menjadi hal yang begitu menakutkan dan tidaklah pantas untuk dikhawatirkan.


8. Janganlah Bergantung Pada Pengalaman Spekulasi Pribadi Seseorang.

Sang Buddha kemudian memperingati para pengikutnya untuk tidak bergantung pada pengalaman spekulasi pribadi seseorang. Setelah mendengarkan atau membaca beberapa teori tertentu, orang dengan mudah tiba pada kesimpulan tertentu dan memelihara kepercayaan ini. Mereka menolak dengan sangat keras untuk mengubah pandangan mereka karena pikiran mereka telah terbentuk atau karena sewaktu beralih pada kepercayaan tertentu, mereka telah diperingatkan bahwa mereka akan dibakar di dalam neraka jika mereka mengubah pendiriannya. Dalam kebodohan dan rasa takut, orang-orang malang ini hidup dalam surga kebodohan, mereka berpikir bahwa kesalahan-kesalahan mereka secara ajaib akan diampuni. Nasihat Sang Buddha adalah untuk tidak membuat kesimpulan gegabah apapun untuk memutuskan apakah sesuatu itu benar atau sebaliknya. Manusia dapat menemukan berbagai macam hal di dunia ini tetapi hal yang paling sukar bagi mereka untuk dilihat adalah kebenaran atau realita dari segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan. Kita seharusnya tidak bergantung pada desas-desus spekulasi untuk memahami kebenaran. Kita boleh menerima beberapa hal tertentu sebagai dasar yang digunakan untuk memulai sebuah penyelidikan yang akhirnya akan memberikan kepuasan pada pikiran. Keputusan yang kita ambil dengan cara spekulasi dapat dibandingkan dengan keputusan yang dibuat oleh sekelompok orang buta yang menyentuh bagian berbeda dari tubuh seekor gajah. Setiap orang buta tersebut memiliki keputusan sendiri mengenai apa yang ia pikirkan tentang bentuk dari gajah tersebut. Bagi masing-masing orang buta tersebut, apa yang ia katakan adalah benar. Meskipun mereka yang dapat melihat hal-hal tersebut tahu bahwa semua orang buta tersebut salah, dalam pikiran orang-orang buta tersebut mereka berpikir bahwa merekalah yang benar. Juga janganlah seperti katak dalam tempurung kelapa yang berpikir bahwa tidak ada dunia lain di luar apa yang dapat ia lihat.

Kita terbutakan oleh kekotoran batin kita. Inilah mengapa kita tidak dapat memahami kebenaran. Inilah mengapa orang lain dapat menyesatkan dan mempengaruhi kita dengan sangat mudah. Kita selalu mudah mengganti kepercayaan yang telah kita terima sebagai kebenaran karena kita tidak memiliki pemahaman yang mendalam. Orang-orang mengubah lebel agama mereka dari waktu ke waktu karena mereka mudah terpengaruh oleh emosi manusia. Ketika kita sudah menyadari kebenaran tertinggi, kita tidak perlu lagi mengubahnya dalam keadaan apapun karena dalam kebenaran terakhir tidak ada hal yang diubah, ia adalah Mutlak.


9. Janganlah Dengan Mudah Mengubah Pandangan Kita Karena Kita Terkesan Oleh Kemampuan Mengesankan Seseorang

Kita seharusnya tidak mengubah pandangan-pandangan kita dengan mudah karena kita terkesan oleh kemampuan mengesankan seseorang merupakan nasihat selanjutnya Sang Buddha yang diberikan kepada orang-orang muda yang disebut dengan suku Kalama. Seberapa orang memiliki kemampuan yang mengesankan Anda dengan perilaku dan kemampuan nyata untuk melakukan hal-hal tertentu. Sebagai contoh, akankah Anda mempercayai secara membuta seorang gadis yang ada di iklan televisi yang mengatakan kepada Anda bahwa Anda juga dapat menjadi cantik secantik dirinya, memiliki gigi seindah giginya, jika Anda menggunakan pasta gigi merek tertentu? Tentu tidak.Anda tidak akan menerima apa yang ia katakan tanpa memeriksa secara hati-hati kebenaran akan pernyataanya. Ini juga sama dengan para pembicara fasih yang mengetuk pintu Anda untuk menceritakan cerita yang mempesona tentang “kebenaran” mereka. Mereka mungkin berbicara mengenai beragam guru-guru agama, guru-guru, dan ahli-ahli meditasi. Mereka juga akan menikmati memberi pernyataan yang dilebih-lebihkan untuk membuktikan kekuatan dari guru-guru mereka untuk mempengaruhi pikiran Anda. Jika Anda secara membuta menerima perkataan-perkataan mereka sebagai Kebenaran, Anda akan memelihara pandangan yang goyah dan dangkal karena Anda tidak sepenuhnya yakin. Anda dapat mengikuti mereka dengan iman untuk beberapa saat, tetapi suatu hari Anda akan merasa kecewa, karena Anda tidak menerimanya melalui pemahaman dan pengalaman Anda. Dan segera setelah guru mengesankan lainnya datang, Anda akan meninggalkan yang pertama.

Telaahlah nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha. Pikirkan bagaimana beralasannya, masuk akalnya, dan ilmiahnya cara pengajaranNya. “Janganlah mendengarkan orang lain dengan kepercayaan membuta. Dengarkanlah mereka dengan segala pengertiannya, tetapi tetaplah penuh perhatian dan dengarlah dengan pikiran terbuka. Anda tidak seharusnya menyerahkan pendidikan dan kecerdasan Anda kepada orang lain ketika Anda sedang mendengarkan mereka. Mereka mungkin mencoba untuk membangkitkan emosi Anda dan mempengaruhi pikiran Anda sesuai dengan kebutuhan duniawi Anda untuk memuaskan keinginan Anda. Tetapi tujuan mereka mungkin bukan berkepentingan untuk menyatakan kebenaran.”


10. Janganlah Menerima Apapun Atas Pertimbangan Bahwa “Inilah Guru Kami”

Janganlah menerima apapun atas pertimbangan bahwa “Inilah guru kami”, merupakan nasihat terakhir Sang Buddha dalam konteks ini. Pernahkah Anda mendengar guru agama lain manapun yang mengutarakan kata-kata seperti ini? Yang lainnya semua mengatakan, “Sayalah satu-satunya guru terhebat, Saya adalah Tuhan. Ikutilah aku, sembahlah aku, berdoalah padaku, jika tidak kau tidak akan memiliki keselamatan.” Mereka juga mengatakan, “Janganlah kau menyembah tuhan lain atau guru lain.” Berpikirlah untuk sejenak untuk memahami sikap Sang Buddha. Sang Buddha mengatakan, “Kau seharusnya tidak bergantung secara membuta kepada gurumu. Ia mungkin saja adalah penemu sebuah agama atau guru yang terkenal, tetapi meskipun demikian kau tidak seharusnya mengembangkan kemelekatanmu terhadapnya sekali pun.”

Beginilah caranya Sang Buddha memberikan penghargaan yang semestinya kepada kecerdasan seseorang dan memperkenankan manusia menggunakan kehendak bebasnya tanpa bergantung pada orang lain. Sang Buddha mengatakan, “Kau bisa menjadi tuan atas dirimu sendiri.” Sang Buddha tidak pernah mengatakan kepada kita bahwa Beliau-lah satu-satunya Guru Yang Tercerahkan dimana para pengikutnya tidak diperkenankan untuk memuja tuhan/dewa dan guru agama lain. Beliau juga tidak menjanjikan para pengikutnya bahwa mereka dapat dengan mudah pergi ke surga atau mencapai Nibbana jika mereka memujaNya secara membuta. Jika kita mempraktikkan agama begitu saja dengan bergantung kepada seorang guru, kita tidak akan pernah menyadari kebenaran. Tanpa menyadari kebenaran mengenai agama yang kita praktikkan kita dapat menjadi korban dari kepercayaan yang membuta dan memenjarakan kebebasan berpikir kita dan akhirnya menjadi budak bagi seorang guru tertentu dan mendiskriminasikan guru yang lain.

Kita harus menyadari bahwa kita harus tidak bergantung pada orang lain dalam penyelamatan diri kita. Tetapi kita dapat menghormati guru agama manapun yang sungguh dan pantas untuk dihormati. Para guru agama dapat mengatakan kepada kita bagaimana untuk meraih keselamatan kita, tetapi seseorang tidak dapat menyelamatkan orang lain. Penyelamatan ini bukan seperti menyelamatkan sebuah kehidupan ketika dalam bahaya. Ini adalah pembebasan terakhir dari kekotoran batin dan penderitaan duniawi. Inilah mengapa kita harus berkerja secara individual (sendiri) untuk meraih pembebasan kita atau kemerdekaan penuh berdasarkan pada nasihat yang diberikan oleh guru-guru agama.

“Tidak ada orang lain yang menyelamatkan kita selain diri kita. Sang Buddha hanyalah menunjukkan jalannya.”

Dapatkah Anda pikiran guru agama manapun yang pernah mengatakan hal ini? Inilah kebebasan yang kita miliki dalam Buddhisme.

Inilah sepuluh nasihat yang diberikan oleh Sang Buddha kepada sekelompok pemuda yang disebut suku Kalama yang datang menemui Sang Buddha untuk mengetahui bagaimana menerima suatu agama dan bagaimana untuk memutuskan mana agama yang benar.

Nasihat Beliau adalah: “Janganlah mementingkan diri sendiri dan janganlah menjadi budak bagi yang lain; Janganlah melakukan apapun hanya untuk kepentingan pribadi tetapi pertimbangkan untuk kepentingan pihak lain.” Beliau mengatakan kepada suku Kalama agar mereka dapat memahami hal ini berdasarkan pada pengalaman pribadi mereka. Beliau juga mengatakan bahwa di antara beragam praktik dan kepercayaan, ada hal-hal tertentu yang baik bagi seseorang tetapi tidak baik bagi yang lain. Dan sebaliknya, ada hal-hal tertentu yang baik bagi orang lain tetapi tidak baik bagi seseorang. Sebelum Anda melakukan apapun, Anda harus mempertimbangkan baik manfaat maupun ketidakmanfaatan yang akan bertambah pada diri Anda. Inilah garis pedoman untuk pertimbangan sebelum Anda menerima suatu agama. Oleh karena itu, Sang Buddha telah memberikan kebebasan secara penuh kepada kita untuk memilih suatu agama berdasarkan pada pendirian diri sendiri.

Buddhisme merupakan suatu agama yang mengajarkan seseorang untuk memahami bahwa manusia bukanlah untuk agama tetapi agama itulah yang untuk manusia gunakan. Agama dapat diibaratkan sebagai rakit yang digunakan manusia untuk menyeberangi sungai. Ketika orang itu sampai di pinggiran sungai, ia dapat meninggalkannya dan melanjutkan perjalanannya. Seseorang seharusnya menggunakan agama untuk perbaikan dirinya dan untuk mengalami kebebasan, kedamaian, dan kebahagiaan. Buddhisme merupakan suatu agama yang dapat kita gunakan untuk hidup penih kedamaian dan membiarkan yang lain untuk juga hidup penuh kedamaian. Saat mempraktikkan agama ini kita diperkenankan untuk menghormati agama lain. Jika sukar untuk menghormati sikap dan perilaku agama lain maka setidaknya kita perlu bertoleransi tanpa mengganggu atau mengecam agama lain. Sangatlah sedikit agama lain yang mengajarkan para pengikutnya untuk mengadopsi sikap bertoleransi ini.