Monday, May 10, 2010
Bakar Kertas Apakah bermanfaat ???
Oleh : UP. Sudharma SL.
Sering timbul salah pengertian di kalangan masyarakat yang non-Buddhis (bukan beragama Buddha), bahwa tradisi "Bakar Kertas" adalah merupakan bagian dari ajaran Agama Buddha, bahkan sebagian dari umat Buddha pun beranggapan demikian. Terasa seakan kurang lengkap apabila dalam upacara sembahyang tidak dilaksanakan tradisi "Bakar Kertas" ini.
Sejak zaman dulu sebenarnya ada 2 jenis kertas yang digunakan dalam tradisi ini, yaitu kertas yang bagian tengahnya berwarna keemasan (Kim Cua) dan kertas yang bagian tengahnya berwarna keperakan (Gin Cua). Menurut kebiasaan-nya Kim Cua (Kertas Emas) digunakan untuk upacara sembahyang kepada dewa-dewa, sedangkan Gin Cua (Kertas Perak) untuk upacara sembahyang kepada para leluhur dan arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia.
Mereka yang mempercayai tradisi ini beranggapan bahwa dengan membakar kertas emas dan perak itu berarti mereka telah memberikan kepingan uang emas dan uang perak kepada para dewa atau leluhur mereka; sebagaimana diketahui kepingan emas dan perak adalah mata uang yang berlaku pada zaman Tiongkok kuno.
Tetapi ternyata kemajuan zaman telah mempengaruhi pula tradisi ini, sekarang yang dibakar bukan hanya kertas emas dan perak, ada pula sejenis uang kertas dengan nilai nominal aduhai (milyaran), yang bentuknya mirip dengan uang kertas yang digunakan pada zaman sekarang. Yang membedakannya adalah kalau pada uang kertas yang berlaku pada umumnya ada yang bergambar kepala negara atau pahlawan, tetapi pada uang kertas yang akan dikirim kepada para leluhur yang telah meninggal ini bergambar Yen Lo Wang (Giam Lo Ong) yakni Dewa Yama, penguasa alam neraka, dan adanya tulisan "Hell Bank Note" (Mata Uang Neraka). Entah dari mana asal mula timbulnya ide untuk membuat dan membakar uang kertas akhirat seperti itu, mungkin dasar pemikirannya adalah karena sekarang mata uang tidak lagi berupa kepingan emas dan perak, melainkan uang kertas; tentunya di alam sana juga perlu penyesuaian.
Apakah benar tradisi "Bakar Kertas" ini berdasarkan ajaran Agama Buddha ? Apakah ada manfaatnya ?, dan bagaimanakah sesungguhnya pandangan Agama Buddha mengenai tradisi ini ? Pembicaraan mengenai hal ini cukup menarik, ada yang pro dan ada pula yang kontra, bahkan anti sama sekali.
Agama Buddha adalah agama yang penuh dengan toleransi, dalam arti agama Buddha dapat menerima pengaruh tradisi atau budaya manapun selama hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Agama Buddha (Buddha Dharma). Dan dalam hal ini tentu perlu pula dipertimbangkan apakah hal itu bermanfaat bagi kemajuan batin kita atau tidak. Begitu pula dengan tradisi "Bakar Kertas" ini apakah hal ini bertentangan atau tidak dengan prinsip dasar ajaran Buddha Dharma ? Marilah kita tinjau lebih lanjut.
Asal-Usul Tradisi "Bakar Kertas"
Konon tradisi "Bakar Kertas" ini baru dimulai pada zaman pemerintahan Kaisar Lie Sie Bien (Lie She Min) dari Kerajaan Tang di Tiongkok. Lie Sie Bien adalah seorang kaisar yang adil dan bijaksana, sehingga beliau dicintai oleh rakyatnya.
Pada suatu hari tersebar kabar bahwa Kaisar menderita sakit yang cukup parah, mendengar kabar ini rakyat menjadi sedih. Beberapa hari kemudian secara resmi keluar pengumuman dari Kerajaan bahwa Kaisar Lie Sie Bien meninggal dunia. Rakyat benar benar berduka-cita karena merasa kehilangan seorang Kaisar yang dicintai, sebagai ungkapan rasa duka-cita ini penduduk memasang kain putih di depan pintu rumahnya masing-masing tanda ikut berkabung atas mangkatnya Sang Kaisar.
Sebagaimana tradisi pada waktu itu, jenazah Kaisar tidak langsung dikebumikan, melainkan disemayamkan selama beberapa minggu untuk memberi kesempatan pada para pejabat istana dan rakyat untuk memberikan penghormatan terakhir.
Alkisah, setelah beberapa hari kemudian Kaisar Lie Sie Bien hidup kembali atau bangkit kembali dari kematiannya. Dan kemudian beliau bercerita mengenai perjalanan panjangnya menuju alam neraka, yang dialaminya selama saat kematiannya.
Dimana salah satu cerita beliau, adalah ketika beliau dalam perjalanan menuju alam neraka, sang Kaisar bertemu dengan ayahbunda, dan sanak keluarga, serta teman-temannya yang telah lama meninggal dunia. Dimana dikisahkan bahwa kebanyakan dari mereka berada dalam keadaan menderita kelaparan, kehausan, dan serba kekurangan walaupun dulu semasa hidupnya mereka hidup senang dan mewah. Keadaan mereka sangat menyedihkan, walaupun saat ini anak-anak dan keturunannya yang masih hidup berada dalam keadaan senang dan bahagia. Makhluk-makhluk yang menderita ini berteriak memanggil Lie Sie Bien untuk minta pertolongan dan bantuannya untuk mengurangi penderitaan mereka. Menurut Kaisar mereka ini sangat mengharapkan bantuan dan pemberian dari keturunan dan sanak-keluarganya yang masih hidup.
Lalu sang Kaisar menghimbau dan menganjurkan agar keturunan dan sanak keluarga yang masih hidup jangan sampai melupakan leluhur dan keluarganya yang telah meninggal. Kita yang masih hidup wajib mengingat dan memberikan bantuan kepada mereka yang menderita di alam sana, sebagai balas budi kita kepada leluhur kita itu. Untuk itu keluarga yang masih hidup dianjurkan untuk mengirimkan bantuan dana/ uang kepada mereka yang berada di alam penderitaan itu. Dan dana bantuan itu adalah berupa "Kertas Emas dan Perak" yang dibakar dan kemudian akan menjelma menjadi kepingan uang emas dan perak di alam sana, sehingga dapat dipergunakan oleh ayahbunda, leluhur, dan sanak keluarga yang berada di alam sana untuk meringankan penderitaan mereka.
Karena yang berkisah ini adalah seorang Kaisar yang sangat dihormati dan dicintai segenap rakyatnya, maka tentu saja cerita ini dipercayai, dan himbauan kaisar langsung mendapatkan tanggapan yang baik dari para pejabat, bangsawan, dan seluruh rakyat kerajaan Tang.
Tetapi sekarang persoalannya, siapakah yang akan membuat "kertas emas dan perak" itu, untuk kemudian dijual kepada yang mau membakarnya atau mengirimkannya kepada leluhur dan sanak keluarganya yang telah meninggal ?
Lie Sie Bien adalah seorang yang cerdas, beliau tahu betul bahwa dari sekian luas wilayah kerajaan Tang (Tiongkok), tidak semua daerah tersebut sama kesuburan tanahnya, ada daerah-daerah yang gersang dan tandus, yang hanya dapat ditumbuhi pohon bambu yakni bahan baku untuk pembuat kertas pada waktu itu. Nah, penduduk daerah inilah yang dikerahkan untuk membuat "kertas emas dan perak" untuk keperluan sembahyang kepada para leluhur itu.
Apakah sesungguhnya yang terjadi ? Betulkah Kaisar Lie Sie Bien meninggal dunia dan melakukan perjalanan ke alam neraka ? Benarkah kisah perjalanan yang diceritakan oleh sang Kaisar ? Banyak orang yang percaya bahwa Kaisar Lie Bie Bien benar-benar pernah meninggal dan melakukan perjalanan ke alam neraka, dan apa yang dikisahkannya itu sungguh-sungguh terjadi. Tetapi tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa kejadian "mati suri" nya Kaisar Lie Sie Bien dan kisah perjalanannya ke neraka hanya rekayasa sang Kaisar untuk tujuan politis.
Dimana penggambaran alam neraka seperti yang diceritakan beliau diambil dari penggambaran alam neraka dalam kitab-kitab suci Agama Buddha, karena Kaisar Lie Sie Bien adalah seorang Buddhis (beragama Buddha) yang cukup banyak mendalami ajaran-ajaran Agama Buddha (Buddha Dharma).
Seperti kita ketahui, bahwa di zaman itu di Tiongkok berlaku sistim feodal, dimana terjadi jurang perbedaan yang sangat nyata antara tuan-tuan tanah, bangsawan, dan pedagang yang kaya raya dengan segala kemewahan yang berlimpah ruah, dengan kaum petani, buruh dan rakyat jelata yang hidup miskin, melarat, penuh kesengsaraan dan serba kekurangan. Orang-orang kaya ini sama sekali tidak punya kepedulian terhadap orang-orang miskin, bahkan mereka menindas kaum miskin ini.
Sebagai seorang kaisar yang adil dan bijaksana, tentu saja Lie Sie Bien tidak setuju dengan keadaan ini, tetapi beliau juga tidak bisa sewenang-wenang memaksa kaum kaya ini untuk mempunyai kepedulian dan mau membantu kaum miskin. Maka terpaksalah beliau menggunakan taktik untuk menciptakan pemerataan kehidupan dan menolong kaum miskin itu, yakni dengan merekayasa peristiwa kematian beliau dan perjalanannya ke alam neraka.
Barisan terdepan dari mereka yang mengikuti himbauan dan ajuran Kaisar Lie Sie Bien untuk membakar "Kim Cua dan Gin Cua" untuk di kirimkan sebagai dana bantuan kepada leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal sudah tentu adalah orang-orang kaya yang punya banyak uang untuk membeli "kertas emas dan perak" yang dibuat oleh orang-orang miskin; sehingga dengan demikian rakyat jelata yang miskin ini jadi terbantu dan punya penghasilan, terjadilah pemerataan pendapatan.
Secara keagamaan pun tradisi ini pada mulanya bermanfaat, yaitu agar anak dan sanak keluarga yang masih hidup senantiasa ingat pada leluhur/ keluarga yang telah mendahului sekaligus sebagai ungkapan balas budi atas jasa dan kebaikan mereka, dan selalu berdoa serta mengharapkan kebahagiaan mereka di alam sana.
Bagaimana pada zaman sekarang ?
Zaman terus berubah, tradisi yang tadinya sengaja dicetuskan oleh Kaisar Lie Sie Bien dengan maksud dan tujuan yang baik, yakni membantu dan menolong kaum miskin, sekarang masalahnya menjadi lain. "Kertas Emas dan Perak" yang dulunya di produksi oleh home industry (industri rumah tangga) orang-orang miskin, sekarang sudah di produksi secara massal oleh pabrik-pabrik yang tentunya milik pengusaha kaya. Sehingga maksud dan tujuan untuk pemerataan penghasilan sudah tidak bermakna lagi.
Kalau dulu upacara "Bakar Kertas" itu selalu diiringi dengan doa dan harapan untuk kebahagiaan para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal, saat ini makna ini sudah semakin kabur karena tidak banyak lagi orang yang tahu asal mula, maksud dan tujuan sesungguhnya dari tradisi "Bakar Kertas" ini. Malah sekarang ada anggapan bahwa semakin banyak "kertas emas dan perak" ini dibakar adalah semakin baik, dan membuat leluhur dan sanak keluarga semakin kaya dan semakin senang di alam sana.
Ditambah lagi dengan berbagai ide yang menyesatkan, seperti membuat uang kertas "Hell Bank Note", peralatan-peralatan modern/ canggih dari kertas (seperti pesawat televisi, hand phone, mobil mewah, televisi, parabola, dll) untuk dibakar guna dikirimkan pada leluhur dan sanak keluarga di alam sana, tentunya akan semakin mengaburkan maksud dan tujuan tradisi "Bakar Kertas" ini.
Bagaimanakah pandangan Agama Buddha ?
Agama Buddha adalah agama yang penuh dengan toleransi, walaupun bukan berarti bahwa agama Buddha bersikap menerima tradisi apapun dalam ritual agama Buddha. Tradisi "Bakar Kertas" yang masih dilaksanakan pada saat ini jelas tidak sesuai dengan ajaran agama Buddha.
Alangkah baik dan bijaksana bilamana uang yang tadinya akan digunakan untuk pembelian "kertas emas dan perak" itu dipergunakan untuk membantu orang-orang yang memerlukan bantuan/ pertolongan, atau membeli sesuatu yang dapat diberikan/ disumbangkan pada mereka yang membutuhkannya; misalnya : disumbangkan ke Vihara, Panti Asuhan, Panti Jompo, Panti Anak Cacat, memberikan dana pada anggota Sangha (Bhikkhu/ Bhikkhuni), atau disumbangkan pada pengemis, orang-orang miskin, korban bencana alam, dan lain sebagainya. Bantuan dan sumbangan tersebut kita berikan dengan mengenang dan mengatasnamakan orangtua/ leluhur dan sanak keluarga kita yang telah meninggal itu. Inilah yang di dalam agama Buddha dinamakan "Upacara Pelimpahan Jasa (Pattidana)", sehingga uang kita tidak menjadi sia-sia untuk membakar kertas dan segala sesuatu yang tidak bermanfaat itu.
Tetapi dalam hal ini agama Buddha tidak mengambil sikap menentang keras atau anti terhadap tradisi tersebut, karena menyadari bahwa melaksanaan tradisi tersebut hanya semata-mata karena ketidaktahuan, kurangnya pengertian, dan kepatuhan pada tradisi secara membabi buta, bukan karena tujuan untuk menentang atau melanggar ajaran agama Buddha.
Jika masih ada generasi tua yang melaksanakan tradisi "Bakar Kertas" itu, kita tidak perlu menentang, mengejek, menghina, atau pun melecehkan apa yang mereka lakukan; tetapi seharusnya kewajiban kita adalah untuk memberikan pengertian dan penjelasan secara bijaksana tentang tradisi tersebut, sehingga mereka berangsur-angsur jadi mengerti dan menyadari kekeliruannya dan mau dengan ikhlas dan sukarela untuk memperbaiki/ merubahnya. Sungguhpun harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk merubah suatu tradisi yang sudah mendarah-daging, meski pun demikian kita tetap harus mencobanya; syukur jika berhasil, tetapi bila tidak berhasil kita tidak perlu kecewa, putus asa, atau pun memaksakannya pada mereka.
Subscribe to:
Posts (Atom)