ManGala Sutta (Berkah Utama)

Wednesday, March 4, 2009

KEKELUARGAAN YANG SEJATI

Sabba disa anuparigamma cetasa, Nevajjaga piyataramatthana kvaci
Evam piyo putthu atta paresam, Tasma na himse param attakamo'ti.

"Bila kita mengarungi dunia dengan pikiran, maka kita menemukan bahwa diri sendirilah yang kita cintai, karena tidak ada lain yang dicintai oleh seseorang selain dirinya sendiri, maka perhatikanlah dan hormatilah orang lain seperti kamu mencintai kamu sendiri"


(Samyutta Nikaya I. 75)


Bhikkhu Abhayanando


A. CITA-CITA KEBAHAGIAAN

"Sabbe satta bhavantu sukhitatta" kalimat ini tidak asing lagi didengar oleh sebagian besar umat Buddha bahkan kalimat ini mungkin paling sering diucapkan. Kalimat ini sering diucapkan pada saat-saat ritual keagamaan Buddha ataupun saat-saat kita memerlukan kalimat tersebut. Sebagian besar umat Buddha mungkin hafal dengan kalimat di atas "Semoga semua makhluk hidup berbahagia." Itulah arti dari kalimat tersebut di atas. Kita umat Buddha mengharapkan semua makhluk berbahagia, baik manusia, mereka yang terlahir di alam-alam rendah, ataupun mereka yang terlahir di alam bahagia.

Sungguh luar biasa harapan umat Buddha itu, jarang sikap yang demikian ini dimiliki oleh setiap orang karena kadang-kadang kita masih iri melihat kebahagiaan orang lain. Sabbe satta bhavantu sukhitatta adalah suatu harapan yang mempunyai nilai-nilai luhur, tetapi ada pertanyaan yang harus kita jawab, sudahkah kita merealisasikan kalimat tersebut ataukah hanya sekedar harapan atau hanya sekedar hafal saja? Jawabannya, ada pada masing-masing orang dan kita patut merenungkan kalimat itu kembali.

Berharap makhluk lain memperoleh kebahagiaan adalah baik tetapi alangkah baiknya jika kita bisa menindaklanjutinya. Harapan bukan hanya sekedar harapan tetapi ada realisasinya. Pada dasarnya mereka (semua makhluk) akan merasa bahagia jika kita memberikan dorongan kebahagiaan, karena mereka membutuhkan kebahagiaan.

Siapa sih yang tidak ingin bahagia? Semua orang ingin bahagia sekalipun ia seorang penjahat. Dambaan kebahagiaan selalu diidam-idamkan oleh semua orang bahkan semua makhluk. Kesehatan, umur panjang, keterkenalan, pujian, dan kalau mati masuk surga, adalah cita-cita kebahagiaan yang didamba-dambakan. Terkadang untuk mencari kebahagiaan itu orang harus bekerja keras, tidak kenal lelah, dan yang lebih tragis lagi cara-cara yang tidak sesuai dengan Dhamma dilakukan untuk mengejar kebahagiaan.

Kebahagiaan sudah didapat akan tetapi semua itu tidak akan bertahan lama. Semua mengalami perubahan, kebahagiaan berubah menjadi penderitaan. Timbullah gejolak pada diri kita, kenapa begini? Alangkah kejamnya kehidupan ini. Kita juga tidak bisa menyalahkan semua orang bahkan Makhluk Agung yang kita pujas. Kita harus menghadapi semua itu sebagai realita. Sikap tidak mau menerima kenyataan adalah sikap orang bodoh yang hanya menambah dukkha saja.

Kenapa kita tidak mau menerima kenyataan? Padahal kita mengenal Dhamma. Memang, kita mengenal Dhamma tetapi Dhamma yang kita kenal hanya menyentuh intelektual saja. Jika Dhamma betul-betul masuk dalam batin kita maka kita akan sanggup menghadapi realita kehidupan dan kebahagiaan akan kita peroleh.

B. SIKAP PEDULI

Harapan semoga semua makhluk hidup berbahagia yang selalu kita ucapkan kelihatannya belum menjadi kenyataan. Buktinya masih banyak makhluk masih mengalami penderitaan. Apakah kalimat tersebut tidak manjur? Persoalannya bukan manjur atau tidak manjur. Tetapi yang menjadi persoalan disini adalah bagaimana kita melihat penderitaan yang mereka alami.

Pada saat orang lain atau makhluk lain mengalami kesulitan atau kesusahan, apa yang kita lakukan? Apakah kita hanya sekedar berkomentar? "Ah, itu kan karmanya dia." Kalau kita berkomentar demikian, berarti kita belum merealisasikan kalimat "Semoga semua makhluk hidup berbahagia." Pintu hati kita belum terbuka, ego masih bersemayam dalam diri kita. Kalau kita benar mengharapkan semua makhluk hidup berbahagia, sifat mementingkan diri sendiri harus kita kikis. Bukalah pintu hatimu kepada mereka yang menderita, karena kita sama-sama manusia, manusia yang ingin lepas dari penderitaan.

Banyak orang masih belum bisa menciptakan kekeluargaan yang sejati. Karena ego manusialah sehingga ini terjadi. Masing-masing orang tidak ada kepedulian terhadap yang lainnya. Kadang orang akan banyak membantu kepada mereka yang menguntungkan bagi dirinya. Sedangkan yang tidak menguntungkan tidak dihiraukan. Kekeluargaan yang kita ciptakan masih bersifat egois. Secara lahir kita mungkin berhubungan tetapi batin kita masih ditumbuhi sifat mementingkan diri sendiri.

Dhamma yang kita pelajari hanya sekedar memasuki intelektual kita. Kita hanya mengetahui tetapi tidak mencoba untuk menindaklanjutinya. Jika pabba saja yang kita tonjolkan maka kita akan menjadi orang yang kaku sehingga dalam berhadapan dengan orang lain hanya dengan menggunakan pengetahuan saja tanpa diimbangi dengan metta karuna. Pabba dan metta karuna yang seimbang akan melahirkan bentuk etika yang hakiki, sehingga sikap kekeluargaan akan selalu muncul. Sikap peduli seharusnya kita munculkan jika melihat penderitaan orang lain. Dalam pergaulan juga kita harus senantiasa menunjukkan sikap-sikap kekeluargaan seperti; keramahtamahan, rendah hati, tidak sombong, kejujuran, dan bentuk-bentuk kekeluargaan lainnya. Jika sikap kekeluargaan ini ada pada setiap orang maka keharmonisan dalam keluarga, masyarakat, organisasi, dan lingkungan pergaulan lainnya akan tercipta. Rasa saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai ini harus senantiasa kita kembangkan dalam kehidupan sehari-hari.

C. MISI DHAMMA

Dhamma dibabarkan untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan sejati. Salah satu ajaran Sang Buddha yang dapat menuntun kita dalam hubungannya dengan orang lain ialah agar kita saling menghormati, saling menghargai, saling mempercayai, dan sikap peduli dengan yang lainnya sehingga persatuan dan kesatuan akan terus berlanjut.

Kita hidup di tengah-tengah masyarakat tentunya mau tidak mau harus berinteraksi dengan orang lain. Dalam bergaul terkadang kita mengalami berbagai macam persoalan. Berbagai karakter akan kita temui. Dalam keluarga kita yang sekarang berbagai karakter dan persoalan muncul. Kalau keluarga kita ingin harmonis maka masing-masing harus mengerti kedudukannya dan memunculkan sifat-sifat saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai. Begitu pula dalam hidup bermasyarakat.

Untuk menciptakan kekeluargaan yang sejati dalam kehidupan ini setiap orang harus menindaklanjuti ajaran. Dhamma harus direalisasikan dalam kehidupan ini sehingga kebijaksanaan yang telah dicapai dengan cinta kasih yang telah berkembang dapat muncul seimbang. Dengan demikian orang akan menjadi sahabat baik bagi orang lain bahkan makhluk lain. Ciri-ciri untuk menjadi sahabat baik yang harus kita kembangkan antara lain:

1. Sahabat yang suka menolong
2. Sahabat di waktu senang dan susah
3. Sahabat yang suka memberi nasihat
4. Sahabat yang selalu memperhatikan keadaan orang lain

Dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha bersabda bahwa sahabat yang suka menolong, sahabat di waktu senang dan susah, ia yang selalu memberi nasihat yang baik dan memperhatikan lingkungan. Orang bijaksana menganggap empat orang tersebut sebagai sahabat sejati. Hendaknya kita menjaganya dengan baik seperti ibu menjaga anak kandungnya sendiri. Jelas bahwa apabila masing-masing orang mempunyai sifat-sifat seperti di atas akan membuat suasana kehidupan menjadi aman, damai, dan tentram. Dalam lingkungan keluarga, lingkungan organisasi, dan lingkungan lainnya hanya akan menjadi baik jika sifat-sifat di atas dikembangkan.

Memang untuk menciptakan suasana kekeluargaan sejati sangat sulit, akan tetapi jika masing-masing mau berusaha maka semuanya itu akan terlaksana. Perasaan pahit kehidupan harus kita hadapi jika kita ingin berjuang menciptakan kekeluargaan sejati. Dengan mengembangkan sifat baik yaitu keseimbangan antara pabba dan metta karuna niscaya kekeluargaan yang sejati akan tercipta.

D. TELADAN YANG LUHUR

Banyak orang yang berpandangan bahwa ajaran Sang Buddha itu kaku, kolot, hanya mementingkan diri sendiri, tidak peduli dengan lingkungannya, dan banyak kata lagi yang bernada sama yang pada intinya menganggap agama Buddha tidak diajarkan untuk peduli dengan orang lain maupun lingkungan. Mereka yang berpendapat demikian adalah orang yang belum mengerti sama sekali tentang Buddhis atau melihat sepintas ajaran Buddha lalu mereka menyimpulkan seperti itu, hal ini sangat wajar dan kewajiban kita sebagai seorang Buddhis untuk meluruskannya.

Jika dilihat sepintas lalu, memang ajaran Buddha ini mementingkan diri sendiri karena dalam ajaran ini sangat menekankan umatnya untuk melatih diri sampai mendapatkan pencerahan. Agama Buddha tidak hanya berhenti di situ saja, setelah dalam diri seseorang tumbuh kepribadian yang baik dari hasil melatih diri, maka disarankan pula untuk membantu mereka yang dalam kesulitan dan peduli dengan lingkungan. Justru dari dasar pembinaan diri sendiri ini akan meningkatkan rasa kekeluargaan yang sangat baik. Timbul suatu pertanyaan, "Bagaimana mungkin dapat membantu orang lain dengan ketulusan dan kemurnian sedangkan dalam dirinya belum terbina dengan baik?" Setidak-tidaknya kita dapat membantu mereka dengan pengertian benar.

Sang Buddha tidak hanya memberikan ajaran yang bersifat teori semata tetapi Beliau juga memberikan contoh yang nyata. Banyak orang yang mendengung-dengungkan rasa kekeluargaan tetapi hanya dalam kata-kata belaka dan belum sampai pada tindakan nyata. Sang Buddha adalah guru sejati yang memberikan ajaran dalam bentuk teori dan praktek sehingga orang yang mengikuti jejak beliau akan melakukan tindakan yang nyata dalam kehidupan ini seperti yang Sang Buddha lakukan. Kepedulian terhadapa penderitaan yang dialami makhluk lain adalah suatu kebajikan dan akan menjaga suasana persahabatan dalam kehidupan. Untuk lebih jelasnya bagaimana mengembangkan rasa kekeluargaan, dibawah ini ada sebuah cerita yang dapat dijadikan bahan renungan kita.

Pada suatu hari Bhikkhu Tissa jatuh sakit, pertama-tama bisul kecil tumbuh diseluruh tubuhnya. Lama-kelamaan bisul itu bertambah besar dan pecah sehingga bau. Bisul-bisul itu berkembang dan berubah menjadi borok. Sahabat-sahabatnya sesama bhikkhu tidak mau merawat dan meninggalkan-Nya seorang diri.

Melihat hal ini Sang Buddha pergi ketempat di mana bhikkhu yang sakit itu tinggal. Bhikkhu yang sakit itu terlihat sangat lemah dan Sang Buddha merawatnya sampai sembuh bukan hanya fisiknya tetapi juga batinnya.

Sang Buddha bertanya kepada para bhikkhu, kenapa meninggalkan bhikkhu yang sedang sakit itu seorang diri? Para bhikkhu menjawab bahwa Bhikkhu Tissa sudah tidak ada gunanya lagi, dia sudah tua dan sakit-sakitan, tidak ada kontribusinya lagi bagi perkembangan Dhamma. Kalian adalah bhikkhu, tidak punya orangtua lagi, kawan-kawan sesama bhikkhulah yang akan menemani pada saat-saat kamu mengalami kesulitan seperti halnya pada saat sakit. Jika engkau merawat orang sakit sebenarnya engkau juga merawat diriku atau gurumu.

Dari cerita di atas dapat dilihat, bagaimana cara Sang Buddha menyadarkan siswanya untuk selalu peduli dengan lingkungan, bukan hanya mengajarkan teori-teori saja tetapi juga tindakan nyata dalam kehidupan ini. Di sini, kita akan mendapatkan pelajaran yang sangat bermakna sekali yaitu diajarkan untuk hidup rukun dan saling menolong sesama manusia bahkan semua makhluk. Kita tidak dapat hidup sendiri, kita masih membutuhkan yang lain oleh karena itu sikap kekeluargaan ini harus senantiasa kita kembangkan.

Dalam menciptakan sikap kekeluargaan yang sejati ini, Beliau mendasarinya dengan ketulusan dan kemurnian batin sehingga kebajikan ini dapat membawa manfaat bagi orang yang melaksanakan tetapi juga semua orang. Sikap kekeluargaan sangat tinggi nilainya, apalagi jika dilakukan dengan tindakan murni sehingga muncul keharmonisan dalam kehidupan kita.

E. Apa Yang Seharusnya Kita Lakukan?

Uraian di Atas sudah sangat jelas, bahwa Dhamma mengajak kita untuk mengembangkan kepedulian kepada siapa saja yang mengalami kesulitan. Perbedaan tidak harus dijadikan penghalang, sehingga kita berhenti untuk peduli, atau kita hanya sekedar peduli dengan kelompok yang sama dan yang menguntungkan kita. Jika hal ini yang terkadi berarti kepedulian kita hanya sebatas ego semata belum berkembang ke arah yang universal.

Marilah kita menengok lingkungan masyarakat kita, betapa menyedihkan. Setiap saat terus bergejolak dan masyarakat yang selalu menjadi berkembang. Mereka terjepit oleh kondisi demikian. Perhatian yang sangat baik adalah dalam bentuk dukungan moril maupun materiil.

Sanggupkah kita berperan nyata untuk membantu saudara-saudara kita. Walaupun berbeda kita adalah satu keluarga yaitu keluarga manusia yang ingin lepas dari penderitaan. Memang, untuk berperan nyata membutuhkan tekad untuk tidak merasa jijik, kotor, dan anggapan-anggapan yang jelek lainnya.

Masalah-masalah yang muncul dan berkembang adalah kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. Kalau hal ini dibiarkan maka bangsa ini akan hancur. Marilah kita mengembangkan kepedulian sesuai dengan propesi masing-masing.

Sebagai seorang Buddhis tentunya telah memiliki dasar yang kuat. Untuk mengembangkan kekeluargaan sejati, baik ajaran Buddha maupun contoh-contoh nyata yang telah ditunjukan oleh Sang Buddha sendiri.

Marilah kita menamkan kebajikan lewat kegiatan sosial dengan mengentaskan kemiskinan, memberikan pelayanan kesehatan, membantu memberikan fasilitas pendidikan dan tentunya yang lebih penting memberikan dukungan moril lewat kegiatan spiritual.

Realisasi inilah yang harus kita kembangkan daripada hanya berdebat, berselisih hanya karena persoalan kecil. Kekeluargaan sejati tidak akan berkembang kalau kita hanya sekedar bicara. Jadilah orang-orang yang mempunyai kepedulian. Dengan demikian dalam diri kita akan tentram, damai, dan sejahtera. Demikian pula lingkungan kita akan kondusif, penuh dengan persahabatan, solidaritas dan kekeluargaan sejati. Kekeluargaan sejati amatlah penting untuk dikembangkan secara universal tanpa mengenal perbedaan, disinilah suasana kehidupan akan benar-benar aman, damai, dan sejahtera.

SABBAMITTO SABBASAKHO
SABBABHUTANUKAMPAKO
METTAM CITTANCA BHAVEMI
ABYAPAJJHARATO SADA

Aku adalah teman dan siap menolong semuanya;
Aku bersimpati kepada semua makhluk hidup.
Aku mengembangkan dengan penuh cinta kasih,
dan selalu bergembira dengan kebaikan.
(Theragatha. 648)

No comments: